Touring Ciater – Tangkuban Perahu, Merangkai Kebersamaan Dalam Susah dan Senang (bag 2)

Sambungan dari bagian 1

“Kita jadi ke Tangkuban Perahu?”
Suara Toto tersebut membuat saya terbangun. Saat membuka mata, tampak di ruang tamu sudah ada beberapa orang. Tumben sudah bangun nih, pikir saya sambil melirik ke G-Shock yang menunjukkan pukul 05.30.

Sambil bermalas-malasan, saya menggeliat di dalam kantung tidur. Surya “ndut” sudah sibuk bulak-balik di dapur dan membuat minuman panas. Bujangan asal Bali ini memang selalu cekatan dalam hal penyiapan makanan dan minuman sejak kami tiba. Ia hanya tersenyum melihat saya yang membuka sebelah mata, silau karena lampu yang temaram.

Tak tahan dengan “kicauan” KHCCers, saya putuskan untuk bangun. Saat itu tengah hangat diskusi untuk pergi ke Tangkuban Parahu (waktu itu belum tahu bahwa nama yang tepat adalah Tangkuban Parahu) atau tidak. Setelah cuci muka, dan sejenak “mengumpulkan nyawa”, saya bergabung dengan KHCCers lainnya. Suasana pagi yang dingin dan sejuk membuat kami semua berdempetan satu sama lain. Obrolan pun dilanjutkan.

Gue sih memang mau ke sana. Ini kan turing terakhir pake nih motor. Supaya spesial saja,” ujar One menegaskan maksudnya. Sementara Toto menjawab, “Iya, gue juga belum pernah ke situ. Mumpung di sini. Sekalian satu paket. He..he..” tegas pemuda yang sering bolak-balik Cibinong-Jakarta itu. Saya, yang dari awal memang tidak berminat, memutuskan untuk istirahat di penginapan saja. Begitu juga Disa dan  Surya. Sementara Eko masih terlelap di tempat tidur, tak sadar dirinya menjadi topik diskusi pagi itu.

Menjelang pukul 07.00, KHCCers yang ingin mengunjungi Tangkuban Parahu pun bersiap-siap. Saat rombongan sudah berangkat, saya lalu berpikir, sayang sekali jika tidak didokumentasikan kebersamaan di Tangkuban Parahu. Akhirnya, saya putuskan untuk menyusul. Disa, yang saat itu tengah menyantap mi instan pun menyatakan untuk ikut serta. Dan demi topan dan badai, Eko, yang baru saja bangun dari tidur, mengatakan, “Coy, jadi gak kita ke Pelabuhan Ratu?” Sontak hal itu membuat Surya tertawa. “Maksud lo? tanya Disa terheran. “Eh maksud gue, ke Tangkuban Perahu. Jadi kan?” ucap anak penjual nasi uduk tersebut sambil menyulut rokok.

Sebuah Bus mendekati Eko "Nasduk" yang baru saja mengambil foto.

30 menit setelah rombongan pertama berangkat, saya, Disa dan Eko pun menyusul rombongan ke tujuan yang sama. Jam baru menunjukkan pukul 07.30 saat kami bertiga mulai menyusuri aspal mulus nan berkelok menuju arah Lembang. Jalanan sepi, udara yang segar dan pemandangan yang indah, menjadi “sarapan” kami pagi itu. Dan mungkin, karena belum pernah melihat pemandangan indah tersebut, Eko sempat kehilangan keseimbangan, dan motornya sedikit oleng, lalu turun ke pinggiran aspal, nyaris terjatuh. Saya yang sedang mengaktifkan mini-cam, hanya bisa tertawa melihat tingkah polah karyawan Indosat itu.

“Kenapa lu?” tanya Disa sambil menghampiri Eko.
“Pemandangan Coy! Keren Banget!” jawab Eko Cengengesan.

Perjalanan kami lanjutkan dengan santai. Jalanan masih sepi dari hiruk pikuk kendaraan. Sepanjang mata memandang, gugusan kebun teh menjadi penghias visual mata kami. Sementara itu, raungan mesin 3 motor Honda Karisma, seakan menjadi pemecah kesunyian pagi itu. Hanya terhitung beberapa mobil dan motor yang berpapasan atau mendahului kami. Jalanan sepi berkelak-kelok, aspal mulus dan pemandangan indah, adalah mimpi setiap petualang pesepeda motor. “It’s a view to die for!” seperti yang diucapkan Ewan McGregor dalam film dokumenter Long Way Down.

Puas menikmati tanjakan dan turunan, kami tiba di pintu gerbang utama kawasan wana wisata Tangkuban Parahu. Tapi disarankan oleh penjaga gerbang berparas cantik, agar melalui gerbang yang lain. “Kalau melalui jalur ini, nanti kondisi jalannya jelek. Jika lewat jalur yang satu lagi, lumayan dan bisa mempercepat waktu tempuh.” Demikian tutur penjaga loket yang manis itu.

Kami pun memutuskan untuk melalui jalur yang direkomendasikan. Dan ternyata benar. Kondisi jalannya lumayan bagus. Saat memasuki jalur tersebut, tanjakan mulai menghadang. Harus hati-hati pula dengan jurang kecil di kanan dan kiri jalan. Entah mengapa, pagi hari, dan melewati hutan mengingatkan saya akan hobi yang belum saya lakukan lagi 3-4 tahun terakhir yaitu mendaki gunung. Sugesti atau tidak, semerbak bau endapan air di daun, dan semilir angin lembah, seakan mengisi kerinduan itu. Nantilah, jika ada waktu, saya akan kembali mencumbui alam, demikian pikir saya saat itu.

Disa "Pasikom" memotret motornya (tak tampak) dari tengah jalan.

Tanjakan makin curam. Eko beraksi dengan berkendara zig-zag untuk menyiasati tanjakan. Mesinnya meraung untuk mambawa pemuda bertubuh tambun tersebut. Sementara Disa, berjalan santai di belakangnya. Jarak diantara kami bertiga tidak terlalu jauh. Namun entah siapa yang memulai, tingkah laku narsis pun muncul. Disa berhenti, lalu memotret motornya. Eko pun demikian. Keduanya sibuk dengan perangkat Blackberry mereka. Saya hanya bisa tersenyum saja. Kedua orang ini memang ngebet touring sejak mereka bergabung ke KHCC delapan bulan lalu. Tak pelak, kami bertiga terlibat dalam aksi narsis pagi hari ala KHCCers. 😀 Beberapa penumpang minibus dan kendaraan pribadi yang menengok tingkah kami, selalu melempar senyum dan tawa kecil.

Setelah “sesi pemotretan” tersebut, kami tiba di area parkir motor. Saat tengah memasukkan helm dan perlengkapan ke boks, Eko berujar, “Pantesan motor gue berat! Nih box isinya pakaian lengkap. Kenapa gue bawa yak?” ujar pria berkepala pelontos itu. Kontan saya dan Disa tertawa terbahak-bahak. Sementara, Eko hanya tersenyum saja menahan tawa. “Makanye, jangan tidur mulu lu! Tuh akibatnya!” ujar Disa sambil melanjutkan tawanya. Akhirnya Eko menitipkan helm di tukang penitipan helm.

Tak lama kemudian, kami bertemu dengan rombongan di bibir kawah Ratu, Tangkuban Parahu. Hembusan angin gunung yang kencang dan dingin membuat kami merapatkan jaket dan memasukkan tangan ke saku. Tak ada pengunjung yang menggunakan kaos oblong. Semuanya menggunakan baju hangat, jaket atau sweater.

Tukang Gorengan di kawah tak luput dari incaran KHCCers.

Lagi, aksi potret pun terjadi. Entah itu berpose bareng, atau pose sendiri. Moment ini sepertinya tak ingin dilupakan oleh kami. Bahkan seorang pengunjung dimintai bantuan untuk memotret kami. Dan tak lupa di tempat tersebut kami bertemu pula dengan rekan bikers dari komunitas motor Thunder. Jabat erat ala bikers pun tak terelakkan.

Pemandangan perbukitan sekitar Gunung Tangkuban Parahu.
Kawah Ratu, Gunung Tangkuban Parahu, Jawa Barat.

Saya pribadi, sambil menguyah bakwan goreng panas, berusaha menikmati tiap detik momen ini. Maklum, belum tentu terulang kembali perjalanan bersama KHCC ke wilayah ini. Kenikmatan berendam air panas di Ciater dan indahnya udara pegunungan di kawah Tangkuban Parahu, seakan menjadi klimaks perjalanan kali ini.

Berdiri (ki-ka): Ableh, One, Joko, Disa, Eko, Toto & Andik. Jongkok: Somad, Rori, Anto, Surya, Bewok, Arif dan penulis.

Setelah puas menikmati Tangkuban Parahu, kami pun kembali ke pondokan. Lagi-lagi ada kejadian lucu. Tertinggal dari rombongan karena usai mengambil gambar, saya melaju kencang, menuruni jalur kebun teh. Tapi ternyata ada Rori dan Jansen yang tengah mengisi bensin eceran. Saya pun menunggu, dan kembali melanjutkan perjalanan bersama mereka.

Menuruni lereng Tangkuban Parahu

Nah Jansen, yang berada di depan sepertinya tidak hafal jalan kembali ke Ciater. Ia salah berbelok. Hal ini diperparah lagi oleh Rori yang mengekor. Saya berusaha memeringatkan mereka dengan mengklaksok panjang, tapi tak digubris. Apa boleh buat, saya kejar mereka dengan ikut berbelok. Tapi ternyata, jalannya menurun dan banyak “polisi tidur”. Butuh waktu beberapa saat sebelum saya bisa mendekati mereka berdua. Klakson kembali saya bunyikan, dan Jansen serta Rori pun menengok ke belakang. Saya memberikan kode untuk berputar kepada mereka. Saat “membimbing” mereka keluar dari jalan yang salah, saya tersenyum sendiri. Ada saja kejadian hari ini, pikir saya.

Ketika tiba di penginapan, kami mendapati Rais dan Novi, miliser (anggota milis) dan member KHCC yang berdomisili di Bandung sudah tiba. Mereka memang berjanji akan menyambangi penginapan KHCC. Suami istri biker ini juga membawa serta anak mereka, Ryan, yang kerap dibawa touring. Bahkan saat berpergian ke gunung Galunggung Januari lalu, mereka juga turut serta.

Sarapan di penginapan.

Suasana akrab pun mulai terjalin. Novi dan Rais yang tidak pernah kopdar lagi sejak menikah (karena tinggal di Bandung) mengakrabkan diri dengan KHCCers lainnya. Apalagi ketika sarapan dibagikan. Suasana pagi yang ceria dan hangat ala KHCCers kembali terjadi. Ryan, sang little biker, sibuk berjalan kesana-kemari, serta mengoceh apa adanya.

Menjelang pukul 13.00
Kami bersiap-siap untuk meninggalkan pondokan. Rais dan Novi, yang awalnya berniat mengantar kami hingga ke Purwakarta, mengurungkan niat tersebut. “Sorry bro, kayaknya bakal hujan nih. Kayaknya kita gak jadi ikut ke Purwakarta, ujar Rais kepada saya. “Ah tidak apa-apa bro. Toh kita sudah terimakasih lu bisa datang ke sini. Santai saja, jawab saya menenangkan dirinya.

Briefing sebelum pulang ke Jakarta.
Tim lengkap KHCC tour d'ciater 2010. Ditemani Novi, Rais dan Ryan.

Setelah semua sudah bersiap, rombongan pun berpose bersama. Kali ini Rais, Novi dan Ryan turut serta difoto. Tak lupa kami kembali merepotkan pengelola pondokan menjadi fotografer dadakan. 😀 Langit mendung tengah membayangi kawasan Ciater, saat iring-iringan kami meninggalkan kawasan Ciater sekitar pukul 13.00.

Belum genap satu jam perjalanan, rombongan terpaksa berhenti. Di daerah Sagala Herang, motor Eko “nasduk” berhenti total. Analisa awal kemungkinan ada masalah di busi. Tapi setelah busi diganti, motor hanya mau menyala, tapi mati lagi ketika gas dibuka. Beberapa KHCCers curiga terjadi masalah di pengapian. Usut punya usut, motor Eko tidak lagi menggunakan CDI standard/bawaan, melainkan tipe racing. Sepertinya CDI tersebut tidak kuat menghadapi beban perjalanan touring kali ini.

Si Kumbang mengalami masalah.

Saat tengah berjibaku, Joko mengontak via rakom bahwa tidak jauh dari posisi kami sekarang, terdapat bengkel. Rombongan sudah menunggu di situ. Disaksikan beberapa warga sekitar, Kodok menyetut (mendorong dengan kaki, sambil mengendarai motor) motor Eko. Dan akhirnya motor dibongkar. Saat motor dibongkar, beberapa KHCCers mulai mengantisipasi jika seandainya motor tersebut tidak bisa hidup. Artinya harus diderek hingga ke kota Purwakarta, dimana bantuan bengkel besar tersedia. Akhirnya diambil keputusan untuk menghubungi rekan-rekan H125C, sekedar antisipasi. Rencana perjalanan pun diubah total. Rencana makan siang di sekitaran Cikampek, menikmati sate Maranggi, digagalkan. Rute diarahkan ke kota Purwakarta, dimana rekan-rekan H125C sudah menyiapkan diri untuk mengarahkan ke bengkel terdekat.

Skenarionya adalah mengusahakan motor
Eko bisa menyala dan mencapai kota Purwakarta. Nanti di sana, kita cari bengkel terdekat. Skenario tersebut disepakati demi kelancaran perjalanan hingga rombongan membubarkan diri di Bekasi nantinya.

Motor eko yang dijuluki si kumbang itu akhirnya bisa menyala, tapi sang mekanik tidak menjamin dapat menempuh jarak yang lama. “Dia tidak menjamin, jadi sebaiknya kita tetap mencari bengkel di Purwakarta,” ujar One sesaat sebelum melanjutkan perjalanan. Eko, yang tadinya berada di bagian tengah rombongan, kini berada persis di belakang Kodok sebagai petugas pemimpin rombongan. Tujuannya, jika ia mengalami engine failure lagi, bisa diantisipasi oleh rombongan. Dan karena peristiwa ini, saya yang tadinya cukup percaya diri bahwa bahan bakar yang tersisa 3 bar cukup sampai di SPBU Wanayasa, menjadi ragu, dan memutuskan untuk mengisi bensin eceran. Tidak lucu jika motor kehabisan bensin, dan kembali menjadi beban rombongan, pikir saya.

Sepanjang perjalanan menuju Purwakarta, semuanya berjalan lancar. Si Kumbang tampaknya tidak mengalami masalah. Namun ketika memasuki kota Purwakarta yang arus lalinnya mulai padat, dan macet, kembali mogok. Sesuai kesepakatan, kita menghubungi teman-teman H125C untuk mengantarkan ke bengkel mereka. Alhasil, dari hasil komunikasi, motor Eko “dirujuk” ke bengkel langganan Yuki, waketum H125C. Akhirnya, dengan terpaksa, rombongan dipisah. Andika, Surya, Anto, dan Kodok mengantar Eko menemui Ajir (Ketum H125C) untuk selanjutnya menuju ke bengkel. Sisanya, menunggu kabar di depan rumah sakit umum daerah Bayu Asih. Selama menunggu tersebut, anggota rombongan mengisi waktu dengan ngobrol, memesan minuman ringan dan juga menikmati mie bakso. Bahkan ada yang menyempatkan diri bercengkrama dengan tukang gorengan pinggir jalan. 😀

Menunggu Si Kumbang diperbaiki.
Mengisi waktu dengan menikmati mie bakso di sore hari.
Rori menjadi "kernet" tukang gorengan. 😀

Sekitar setengah jam kemudian, kami diminta untuk menuju rumah Ajir dan nantinya bertemu di sana dengan tim yang ke bengkel. Dijemput dua orang member H125C, sisa rombongan merapat ke rumah Ajir. Tapi saya dan Disa memutuskan untuk menuju bengkel, agar lebih paham kondisi yang sebenarnya. Dengan dipandu oleh Andika, melalui telepon genggam, kami akhirnya bertemu Andika dan Eko. Mereka berencana mencari atm terdekat. Saya dan Disa pun memutuskan untuk menunggu Andika dan Eko.

Saat menunggu itulah, Disa dan saya seakan “terperangkap” dalam sensasi peturing sejati. Motor yang dekil, muka lelah, jaket lusuh dan safety gear yang lengkap, menemani kami berdua yang menunggu di sebuah alun-alun kecil. Sore itu, dengan cuaca cerah, masyarakat banyak yang bercengkrama. Ada dua sejoli yang asik berduaan, pedagang buah dan makanan kecil, penjaja bubur ayam dan juga sekelompok anak muda berlatih skateboard. Tak lupa canda tawa para kernet dan supir angkutan umum yang tengah menunggu penumpang. Di Jakarta, suasana seperti ini sudah jarang didapat. Terlalu padat, terlalu bising. Dan pastinya mengundang kriminal. Di sini, atmosfernya sungguh berbeda.

Menunggu Dika dan Eko. Foto: Disa

Namun kami tidak bisa berlama-lama menikmati momen itu. Eko dan Andika sudah kembali. Dan bersama-sama kami menuju bengkel tempat motor Eko diservis. Tapi, saat menuju bengkel, lagi-lagi Disa membuat ulah. Saat tengah asyik berkendara sambil menikmati suasana pedesaan di sore hari, Disa yang berada di belakang saya, mengklakson berkali-kali. Saat melihat ke spion, ia memberikan isyarat tangan menyerupai memencet kamera. Ah, dasar narsis, pikir saya sambil tersenyum. Tanpa diketahui Andika dan Eko, kami berdua berhenti. Disa pun langsung berpose. Gambar pertama diambil dengan Blackberry-nya, gambar kedua melalui kamera poket saya. Tak lama kemudian, Eko dan Andika kembali. “Mukegile! Gue kirain lu berdua nyasar, tahunya malah bernasis ria! Dasar manusia narsis!” ujar Andika sambil menggelengkan kepala. Tapi tak lama kemudian, Eko pun minta dipotret, tentunya Andika juga minta bagian. Sami mawon, pikir saya lagi.

Tak lama kemudian kami tiba di bengkel yang dimaksud. Lokasinya persis di samping kuburan desa setempat. Saya pun melepas kangen dengan Yuki, yang dulu pernah menjadi guide KHCC saat berkunjung ke Purwakarta. Canda tawa kami berdua terlepas, mengenang perjalanan satu tahun silam.

Perihal motor Eko, ternyata CDI bawaan/standard miliknya masih terdapat di bawah cover body. Jadi, sang mekanik hanya memindahkan arus dari CDI racing ke CDI standar. Dan si kumbang pun kembali normal. “Mulai sekarang, gak usah dipakai lagi tuh CDI racing. Terbukti gak kuat tuh dibawa turing, ujar Andika mengingatkan Eko. Pemuda yang kerap dijuluki juragan nasi uduk itu pun mengiayakan saran tersebut.

Lepas maghrib, dipandu oleh Yuki, kami menuju titik pertemuan dengan sisa rombongan yang tadi menuju rumah Ajir. Tikumnya adalah sebuah SPBU yang menyediakan bbm Pertamax. Sebab, sebagian besar KHCCers menggunakan Pertamax di motornya. Setelah berbicara sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Bekasi. Yuki dan Ajir mengucapkan selamat jalan.

Sebelum melanjutkan perjalanan.

Jalur pulang menjadi tantangan tersendiri…
Kali ini kami tidak melewati Cikampek, melainkan melalui jalan Bukit Indah. Saya, yang baru pertamakali melewati jalur tersebut, cukup waspada. Kondisi permukaannya cukup baik, namun sepi. Dan lagi-lagi, masalah timbul. Lampu depan milik motor Kodok mati sebelah. Lampu yang sudah dimodifikasi itu harus kembali diganti bohlamnya. Setelah itu, rombongan melanjutkan perjalanan.

Dari Bukit Indah, kami menemui jalur yang membutuhkan kewaspadaan tinggi di malam hari. Entah apa nama daerahnya. Pasalnya, tidak ada lampu penerangan jalan. Selain itu, kondisi jalan kurang baik. Sementara, kendaraan yang lalu lalang didominasi oleh Truk pengangkut material bangunan. Tak ayal lagi, KHCCers yang sudah menggunakan lampu tembak/kabut, bergantian menyorotkan lampunya untuk membantu yang menggunakan lampu standar. Belakangan saya baru ketahui bahwa One pun mengalami masalah. Lampu jarak pendek-nya pun mati.

Selama dua jam, rombongan kami berjalan menjaga formasi. Selama itu pula kami harus bersabar menghadapi lalu lintas kota Karawang hingga Cikarang yang padat. Tingkah laku beberapa pengendara yang sruntulan dan pasang aksi juga kerap membuat rombongan terpaksa mengalah demi keselamatan. Namun kesabaran kami dalam berkendara terbayar ketika tiba di daerah kalimalang, Bekasi Timur.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 waktu kami tiba di sebuah tempat makan pinggir jalan, di kalimalang, Bekasi Timur. Tanpa komando, KHCCers langsung memesan aneka makanan. Mulai dari ayam goreng, ayam bakar, tempe dan tahu hingga sop buntut. Rasa lelah dilepas sejenak dengan menyantap makan malam.

Mengisi perut sebelum pulang ke rumah masing-masing.

Malam kian larut
Saat kami memutuskan untuk membubarkan secara resmi formasi touring. Dari sini, kami tetap berkendara bersama-sama, namun tidak ada lagi formasi touring. Masing-masing akan berpisah. Bewok, One, Joko, Somad dan Toto akan menuju Pondok Gede via Rawa Panjang. Sementara saya dan Eko akan berpisah di Kalimalang. Sisanya, akan melanjutkan perjalanan via Kalimalang menuju Jakarta, tempat kediaman masing-masing.

Touring kali ini, yang awalnya saya kira akan berlangsung datar, sungguh berbeda. Tantangannya kali ini mungkin bukan medan yang rusak, tersasar atau cuaca yang susah ditebak. Kali ini tantangannya justru berasal dari kami sendiri. Ketika kesulitan demi kesulitan menimpa rekan seperjalanan, sikap dan keputusan sebagai sesama pejalan menjadi tuntutan. Bagi yang sudah sering touring, ini menjadi penambah jam terbang dan referensi perjalanan di masa yang akan datang. Bagi yang baru ikut touring, mungkin touring kali ini bisa menjadi pengingat bahwa dalam setiap perjalanan, pasti ada kesulitan. Disitulah peran seorang kawan, dan arti kebersamaan diwujudkan dalam kesusahan. Mengulang kejadian dua hari terakhir, pikiran saya terpaku pada semboyan pasukan elit angkatan darat sebuah negara adidaya, Leave No Man Behind”. (hnr)

12 respons untuk ‘Touring Ciater – Tangkuban Perahu, Merangkai Kebersamaan Dalam Susah dan Senang (bag 2)

Add yours

  1. akhirnya keluar juga yang gw tunggu… cerita dari u mank keren dah,,,,nice post man….
    beruntung gw ikut kemaren, cuz kedepannya munkin akan susah buat jalan2 lagi….
    heheheheheheee

  2. ajarin gw ngarsip tulisan di wordpress dunk dat….
    hihiiiiii
    gw googling kok kayaknya gw belum menemukan pencerahan….
    apa gw yg lola yaa wkwkwkkkkk

    Nice post bro

Tinggalkan Balasan ke bodats Batalkan balasan

Blog di WordPress.com.

Atas ↑