Cipanas, Garut, Jawa Barat. Jam sudah menunjukkan pukul 06.00 ketika saya terbangun oleh suara alarm dari handphone. Mau tidak mau, mata ini harus membuka kelopaknya, lalu membangunkan badan, berjalan sejenak ke arah jendela. Sinar matahari belum menghampiri hotel tempat saya menginap. Dan sejauh mata memandang, Gunung Guntur (2200 mdpl) di depan saya masih belum mau menampakkan keindahannya. Menutupi lerengnya dengan kabut tipis. Sementara, tamu penginapan tirta alam, tempat saya beristirahat belum ada yang bangun.
Siraman air hangat ke muka saya, seakan menjadi penanda akan dimulainya aktivitas panjang hari ini. Setelah melakukan perjalanan bus selama 4 jam kemarin, dari Jakarta-Garut, hari ini saya harus kembali ke Bekasi. Bedanya, kali ini saya akan menggunakan si redbastard alias Kawasaki Ninja250cc. Mengapa redbastard bisa berada jauh di Garut, ah panjang ceritanya. 😀
Segera saya menghangatkan badan, berendam sejenak di kolam kecil berisi air panas yang disalurkan langsung dari sumbernya. Penginapan ini, seperti penginapan lainnya di Cipanas, Garut, memang menyediakan fasilitas air panas bagi penghuninya. Ini juga yang merupakan daya tarik utama Cipanas, selain industri kulitnya yang terkenal itu.
Saat mandi, dan berendam, saya sesekali menyeruput teh tawar hangat yang sudah saya pesan sebelumnya. Tak lupa mulai memikirkan jalur yang akan saya tempuh menuju Bekasi nanti. Sesuai sarang dari bro Hendrawan a.k.a One, saya memilih jalur normal: Garut-Nagrek-Cileunyi-Bandung-Padalarang-Cikalong-Purwakarta-Bekasi. One merekomendasikan agar saya mencoba jalur baru Nagrek, yang menurutnya lebih cihuy, mulus dan memberikan pemandangan lebih indah. saya pun menurutinya, bagaikan konsumen terbujuk rayuan ala sales promotion girl. 😀
Seusai mandi, sambil sesekali mengunyah dua buah roti bakar dengan selai nanas hasil racikan pihak hotel, saya mulai merapikan semua barang bawaan. Menyatukan pakaian kotor dan perlengkapan tidur. Lalu juga membersihkan helm, sarung tangan, protektor dan juga jaket. Tak lupa sepatu boot yang khusus saya beli untuk perjalanan ini. Semua perlengkapan tersebut, bisa dimuat dalam tank bag dari 7gear buatan kang Adet. Review soal tank bag tersebut akan saya buat dalam tulisan terpisah.
Udara Cipanas di pagi hari, tidaklah terlalu dingin seperti yang saya kira. Hal itu saya rasakan saat keluar dari kamar, untuk mengecek redbastard. Awalnya, saya kira badan ini akan dihampiri oleh hawa sejuk pegunungan layaknya puncak pass, Cianjur atau Cibodas. Tetapi kesannya malah biasa saja. Tidak terlalu dingin, dan tidak terlalu hangat. Namun yang pasti, atmosfernya berbeda. Kicauan burung, senyapnya suara hingga jalan kecil di depan penginapan yang masih sepi. Beberapa tukang jajanan seperti bubur ayam dan warung nasi mulai membuka lapaknya. Sementara beberapa kusir delman masih tertidur lelap di keretanya.
Selama 5 menit, saya lakukan pengecekan terhadap redbastard. Rantai, kondisi lampu, tekanan angin ban, tuas kopling dan rem hingga permukaan ban. Tak lupa, mengelap untuk membuatnya lebih kinclong. Dari pengecekan tersebut, ada dua warning. Pertama, tekanan ban kurang dari standar. Setahu saya tekanan ban standar, untuk ban depan adalah 29 psi sedangkan belakang adalah 33 psi. Namun setelah memeriksa dengan tire gauge monitor, semuanya kurang dari standar. Ban depan (120/60) hanya memiliki tekanan 22 psi. Sementara ban belakang (150/60) hanya 27 psi. Lalu, jarum kapasitas tangki bensin sedikit hendak “menyapa” garis E alias empty alias kosong. Dua hal ini menjadi perhatian penting. Kurangnya tekanan ban bisa mengakibatkan bocor halus, tidak perduli seberapa mahalnya ban itu (saya menggunakan batlax bt92). Sementara, jika tanki bensin terlalu dangkal, kotoran bisa terangkat dan menyebabkan penyumbatan pada saluran bensin. Untuk bensin pertamax, saya berencana untuk mengisi di spbu, tidak jauh dari Cipanas. Jika tidak ada juga, terpaksa mengisi dengan premium, paling tidak secukupnya hingga bisa mengisi pertamax di Bandung. Sementara soal Ban, saya bisa tahan hingga Bandung, untuk mendapatkan bengkel mobil, yang biasanya melayani pengisian angin Nitrogen.
15 menit setelah mengecek semua, perjalan siap saya mulai. Saat memanasi mesin dua silinder ninja250r ini, serasa ada perasaan was-was. Akankah berhasil menyelesaikan perjalanan hari ini? Sebab, ini adalah kali pertamanya saya melakukan perjalanan mengendarai motor paling jauh. Biasanya, bersama rekan-rekan dari KHCC atau lainnya. Tapi kali ini, sepertinya harus sendiri. Just me, my bike & the road with in..
Silencer aftermarket lokal yang terpasang di redbastard mulai mengeluarkan suara empuk nan “stereo” saat saya siap berangkat. Sontak beberapa tamu hotel yang tengah bersantai di teras, mau tidak mau, menengok. Saya pun mulai memasukkan gigi 1, dan meninggalkan penginapan Tirta Alam.Suasana pagi di Cipanas, Garut, menjadi bab pembuka perjalanan hari ini. Di kanan dan kiri, terpampang perkebunan hijau, sawah dan rumah-rumah penduduk yang sederhana. Tiba menjelang jalan raya utama, saya mengambil jalur ke kiri, ke arah Nagrek. Aspal yang mulus seakan memersilahkan saya untuk menggeber gas. Tapi hati kecil berkata, “you want to enjoy the ride, not to show off”. Jadilah saya tahan rpm di kisaran 6-8 ribu. Berjalan santai di kiri, menikmati pemandangan yang tidak setiap hari bisa dinikmati di suntuknya kota Jakarta. Sesekali, saya memberikan jalan bagi pengendara mobil/motor yang hendak mendahului. Tak lupa, berhenti beberapa kali pula memotret redbastard berpose dengan latar belakang khas alam nusantara nan indah. Bahkan sempat pula diketawai beberapa siswi sma yang mengendarai motor, saat hendak memotret diri sendiri. :DPerjalanan saya lanjutkan. Mesin redbastard saya mulai naikkan rpm-nya. Kecepatan ditahan antara 60-70 km/jam. Terlalu lambat? Jika anda jadi saya, pasti tidak ingin melewatkan begitu saja keindahan alam pedesaan khas pegunungan. Remember, enjoy the ride. Saat sedang asyik menikmati mulusnya aspal jalan menuju daerah Leles, terdengar bunyi sirene. Awalnya ragu, ini mobil polisi beneran, atau sekedar biker alay menggunakan “perabotan lenong”? Langsung saja mata melihat ke arah spion, dan terlihat jelas, sebuah mobil polisi atau polisi militer (jika tidak salah) menggunakan sirene tersebut. Akhirnya saya mengalah. Tapi demi topan dan badai, setelah saya lihat, ternyata mobil tersebut mengawal iring-iringan pengantin. Dan edannya, mobil pengantin menggunakan jeep Hummer. Dikira pengawal pejabat militer, ternyata malah ngawal orang mau kawin. 😀 Tapi gak apa-apalah, wong Cuma sekali seumur hidup. 😀
Menuju daerah Nagrek, saya harus mulai bersabar. Pasalnya, iring-iringan tersebut cukup panjang. Jika tidak salah, mencapai 10 mobil. Nah saat memasuki jalan raya Bandung-Garut, menjelang Nagrek, sebenarnya aspal mulus dan jalan berliku menjadi kenikmatan tersendiri untuk melakukan cornering atau berbelok dengan motor sport. Tapi apa daya, iring-iringan yang tadi melewati saya, masih menghadang di depan. Sadar bahwa iring-iringan ini berjalan pelan, saya mulai bersiap melakukan overtake. Lepas dari sebuah tikungan sempit, terdapat jalur lumayan lurus, serta kondisi lalu lintas dari arah sebaliknya sepi. Maka mulailah saya mendahului dari kiri. Kenapa dari kiri? Karena dari kanan, terdapat marka jalan berupa garis lurus tak terputus, artinya tidak boleh mandahului. Pelan namun pasti, raungan mesin 250cc ini mulai meninggalkan iring-iringan. Selepas melewati mobil polisi paling depan, mulailah redbastard digeber.
Tikungan demi tikungan dilibas dengan tehnik cornering ala public road, bukan motogp. Karena ini motor sport, bukan touring atau bebek, maka perlakuannya beda. Paling tidak itu yang saya pelajari dari beberapa video riding dan juga artikel. Jadilah saya berusaha menyatu dengan redbastard. Setiap tikungan menjaga kecepatan, lalu memiringkan badan, mengikuti efek sentrifugal yang terjadi saat menikung. Lepas tikungan, mulai menambah kecepatan secara perlahan dan geber lagi. Begitu seterusnya. Saya bahkan mencoba melakukan engine break lalu menikung. Hasilnya? Badan cukup miring, sampai 7gear boot saya menyentuh aspal. Tapi nyali ini, nyaris ciut. Pasalnya, belum pernah seumur hidup “rebah” seperti itu di jalan raya. Untungnya, kondisi lalu lintas yang sepi, membuat saya sedikit relaks dan tidak terlalu khawatir. Namun bagaimanapun, tehnik SEE tetap dilakukan.
Kenikmatan cornering terpaksa berakhir anti klimaks. Pasalnya, menjelang daerah Cagak, terlihat antrian panjang kendaraan. Saya pun memelankan laju redbastard. Lalu berusaha melipir di sebelah kanan antrian mobil yang didominasi oleh bus dan truk. Saat berhenti, saya bertanya kepada salah seorang supir truk.
“Mang, ada apaan nih? Kok macet?”, tanya saya.
“Sepertinya sih gara-gara perbaikan jalan bang.” Jawab sang supir.
“Perbaikan dimana? Nagrek?”
“Sebelumnya bang. Kalau abang mau ke Bandung, lewat Cijapati saja.” Ujar sang supir memberikan tips.
Saran sang supir cukup masuk akal saya. Tidak mungkin saya pasrah menghadapi kemacetan. Apalagi belum melalui Nagrek dan Cicalengka yang terkenal dengan kemacetannya. Semua jadwal terancam molor. Setelah mengucapkan terimakasih, saya pun memutar arah. Kembali lagi saya melibas tikungan demi tikungan. Jadi asyik sendiri nih. 😀
Kurang dari lima menit, saya berada kembali di jalur yang mengarahkan ke Cijapati. Untuk tahap awal, karena masih merupakan pemukiman, saya berkendara dengan kecepatan rendah. Walau sulit dihindari, redbastard dengan plat B menjadi pusat perhatian pengendara lokal. Inipun saya sadari setelah beberapa saat memasuki kawasan tersebut.
Jalur cijapati diawali dengan tanjakan curam, ditemani jurang di kanan, dan hutan di kiri. Udara segar pegunungan, seakan menjadi atmosfer penyejuk raga ini. Penduduk sekitar, baru memulai aktivitasnya. Ada yang membuka warung, mulai bekerja di ladang hingga yang mengantar anak ke sekolah dengan sepeda motor. Seperti biasa, saya berhenti di beberapa spot fotografi yang tidak mungkin terlewatkan.
Saat memotret itulah, saya takjub dengan apa yang saya lihat. Pegunungan yang rimbun, dengan sawah yang menjadi kaki-kaki penguat sang alam. Lalu penduduk desa yang lalu lalang bercocok tanam. Ah sungguh benar kata seorang petualang yang mengatakan, “Tuhan sedang tersenyum saat menciptakan Indonesia”. Benar-benar beruntung saya bisa menikmati keindahan alam ini.
Lepas berhenti, saya melihat jam dan sudah waktunya mengejar ketertinggalan dari jadwal. Mulailah, di tengah keheningan jalur pegunungan tersebut, perjalanan dilanjutkan. Suara knalpot aftermarket lokal yang sejuk, terasa makin empuk, entah kenapa. Mungkin karena cuaca yang dingin, pikir saya. Saat melibas tikungan demi tikungan, pikiran ini kembali ke awal 2009 ketika saya dan beberapa kawan untuk pertamakalinya mencicipi jalur ini. Ah masa-masa berkendara bersama itu, sungguh ngangenin, ingat saya. Tapi konsentrasi tetap berjalan. Jalur Cijapati memang menyimpan kejutan. Jika boleh menyamakan, saya rasa jalur Cijapati gabungan antara sirkuit Philip Island dan Catalunya :D. Sebab, kita akan dihadapkan pada aspal mulus (di sebagian ruas, ada sedikit yang kurang bagus), dengan jalur curam tanjakan dan turunan. Lalu ada tikungan-tikungan yang berujung pada jalur sempit menipis, sehingga menyisakan ruang observasi yang sempit. Pengendara yang paham tehnik cornering, pasti paham sekali maksud saya. Harus berhati-hati menjaga kecepatan saat memasuki atau meninggalkan tikungan. Jika terlalu awal memasuki tikungan, maka ruang observasi ke depan akan sempit, waspadai efek ‘cilukba’. Lalu jika terlambat memasuki tikungan, maka akan melebar saat tikungan. Waspadai kendaraan dari arah berlawanan. Saya sendiri sempat terlambat memasuki tikungan, dan melebar sedikit saat keluar tikungan. Untungnya, tidak ada kendaraan dari arah berlawan. Mungkin karena terlalu bersemangat. 😀
Saat mencicipi jalur Cijapati ini, saya tidak menggeber dengan kecepatan tinggi. Hanya 60-70 km/jam. Lebih dari itu, resiko “kesetanan” terlalu tinggi. Maklum, masih beradaptasi dengan tunggangan baru ini. Jadi, enjoy saja. Toh, jalur Cijapati saat itu sepi dari biker alay. Dan sekitar 25 menit kemudian sudah tiba di jalan raya Cicalengka – Majalaya. Saya pun mengambil arah ke Bandung (kanan). Kondisi jalan di sini kurang bagus. Beberapa ruas jalan bahkan rusak parah, sehingga harus hati-hati menjaga jarak dengan kendaraan di depan. Ditambah lagi banyaknya truk yang hilir mudik.
Melewati Bandung, Menuju Purwakarta.
Memasuki Cicalengka, kondisi lalu lintas cenderung ramai namun lancar. Namun saat memasuki jalan Soekarno Hatta, lalu lintas mulai padat. Saya pun mulai pasrah dengan lalu lintas kota Bandung. Dan akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga! 😀 yaitu macet. Alhasil, tangan mulai pegal, begitu juga, keringat di badan mulai terasa membasahi. Belum lagi panas dari mesin redbastard. 😀Syukurlah, kondisi ini tidak berlangsung lama. Hanya 30 menit saja. Setelah itu lalu lintas lancar lagi hingga menjelang Padalarang. Namun, sebelum memasuki kawasan Padalarang, saya menyempatkan diri untuk mengisi ulang NO2 di ban. Sebab, waktu di Garut, tekanannya kurang dari standar. Mekanik pun menganjurkan menguras, lalu mengisi lagi. Dan dengan alat ukur komputer, mereka memasukkan angka tekanan yang saya minta yaitu ban depan 29 psi, sedangkan belakang 33 psi. Setelah itu perjalanan dilanjutkan.
Memasuki Padalarang, sempat juga berpikir ulang, apakah akan tetap melewati jalur Cikalong-Sadang-Purwakarta, atau melewati jalur “standar” Cipatat-Cianjur-Cipanas-Puncak-Bogor? Well, setelah menimbang-nimbang dari sisi sensasinya, saya putuskan untuk tetap sesuai rencana. Jalur puncak memang nikmat, tapi setelah sampai di Bogor, kemacetan pasti menunggu. 😀
Berkendara di jalur Cikalong, seperti yang sudah pernah saya lakukan bersama Alex & Shandi, sungguh menimbulkan sensasi tersendiri. Aspal mulusnya, seakan memanggil biker untuk menikmati perjalanan sepenuhnya. Belum lagi pemandangan perkebunan dan bukit di kiri dan kanan. Jalur ini merupakan “peninggalan” jalur bus jurusan Bandung yang tidak digunakan lagi sejak adanya jalan tol Cipularang. Akibatnya, jalur ini hanya dihuni oleh truk-truk trailer. Warung makan dan buah tangan yang biasanya ramai di pinggir jalan pun, kini hanya tinggal kenangan. Hanya tersisa warung-warung makan kecil.
Saat melihat jembatan kereta api, saya putuskan untuk berhenti dan mengambil foto sejenak. Bagi saya pribadi, kereta api jurusan Bandung dan jalur bus kota Cikalong ini mempunyai kenangan tersendiri. Ingat betul, ketika masih menjadi mahasiswa, demi menopang kebutuhan, saya menyambi dengan berbisnis peralatan pendakian gunung. Alhasil, sering bolak-balik Bekasi-Bandung. Entah itu dengan kereta api, ataupun bus antar propinsi. Ah jadi terkenang masa-masa itu. Ini menjadi semacam momen flash back. Mata saya memandang jauh ke arah jembatan jalan tol cipularang. Di sebelahnya, jembatan kereta jalur selatan, yang biasanya digunakan oleh Kereta Api jurusan Bandung. Saya duduk sejenak, sambil menikmati sebotol air minuman isotonik. Pikiran menerawang, bahwa dulunya tidak pernah terpikir bisa melakukan perjalan seperti ini, seorang diri. kenangan selama kuliah, berkendara bersama kawan hingga kisah cinta di kota Paris Van Java mulai merasuki. Apalagi ketika earphone ipod yang masih nyangkut, memainkan musik Joe Satriani berjudul Love Thing. Rasa kangen berkendara bersama teman-teman makin memuncak. Ah kawan, sungguh kangen berbagi perjalanan ini bersamamu, pikir saya dalam hati mengingat kawan-kawan seperjalanan.
Usai mengenang masa lalu, perjalanan saya lanjutkan. Purwakarta adalah target selanjutnya. Saya harus berhenti di kota tersebut untuk makan siang. Sisa perjalanan menuju Purwakarta, kecepatan konstan 70-80 km/jam. Beberapa kali terpaksa mengalah kepada beberapa anak sekolah yang merasa tertantang untuk menyalib redbastard. Dan tak terhitung, berapa kali saya bersusah payah menahan nafsu menyalib truk gandeng di tikungan, sementara pengendara lokal serasa bernyawa 9 dengan mudah melakukannya. Saya harus menunggu jalan sedikit lurus, sehingga SEE bisa dipraktekkan. Setelah melihat penunjuk jalan ke arah Waduk Jatiluhur, pikiran sedikit lega. Purwakarta sudah dekat, pikir saya. Tak sampai 1 jam, saya tiba di kota kecil ini nan ramai ini.
Memasuki Purwakarta, harus bersabar menghadapi kemacetan. Bahkan sempat salah berbelok, sehingga mengharuskan untuk memutar balik. This is the art of solo riding. 😀 Awalnya ingin menikmati makan siang di rm. Sate maranggi yang terkenal itu. Tapi saat mampir ke bilik atm, mata ini tidak sengaja melihat rumah makan Ampera. Ya sudah, diputuskan untuk makan di situ. Menunya tidak terlalu spesial, tapi cukup untuk mengisi perut lapar. Nantilah itu kapan-kapan dibahas. 😀
Selepas Purwakarta, saya memilih jalur alternatif Bukit Indah, dibandingkan lurus melalui Cikampek. Jalur ini cenderung sepi dari kendaraan. Namun, setelah lepas dari Bukit Indah ke arah Karawang, lumayan ramai, dan siap “bertempur” dengan truk-truk material bangunan. Maklum, ini jalur industri.
Memasuki wilayah Karawang, kembali berkonsetrasi keras menghadapi ulah angkutan umum sruntulan dan juga biker lokal. Apesnya, saya tiba di sekitar kawasan industri, justru saat jam bubarnya karyawan pabrik tersebut. Alhasil, harus bersabar, menghadapi beberapa titik kemacetan, karena menumpuknya angkutan umum, menunggu penumpangnya tersebut. Andai saja tempat pemberhentiannya bisa ditata, kemacetan pasti bisa diminimalisir.
Lepas dari pinggir Karawang, saya memilih jalur ring road Karawang. Jika dilihat dari Google Map, mungkin jalur ini belum bisa dilihat. Maklum, masih terhitung baru. Menggunakan jalur ini, tidak akan melalui kota Karawang, melainkan langsung mengarah ke Cikarang. Bagi speedlover, jalan yang terdiri dari beton mulus ini sungguh menggoda. Bagaimana tidak, jalur ini bagaikan jalan tol. Tidak ada lampu merah, terdiri dari dua ruas jalan, dan bablas terus sepanjang kurang lebih 5-7 kilometer. Saya sendiri hanya berani menggeber hingga 140 km/jam. Itu pun sambil berdoa. 😀
Lepas dari Karawang, kembali disambut riuhnya lalulintas menuju kota Bekasi. Saya harus rela diapit dua trailer saat di jalan raya Cibitung menuju Kalimalang. Bukan tanpa sebab, redbastard bukan layaknya bebek yang bisa selap-selip sana-sini. Akhirnya terpaksa ikut mengantri layaknya kendaraan roda empat :D. Setelah itu, memasuki Kalimalang, sudah bisa ditebak seperti apa “rupanya”. Sepeda motor cenderung begajulan, memotong jalur orang seenaknya. Manuver berbahaya macam menyalib tiba-tiba atau berbelok tanpa lampu sein menjadi semacam “trademark”. Hal ini terus saya alami hingga tiba di rumah, sekitar pukul tujuh malam.
Tuntas sudah perjalanan hari ini. Sambil beristirahat sejenak di teras rumah, mencoba merefleksikan diri perjalanan hari ini. Jarak tempuh kurang lebih 220 kilometer, sepadan dengan trip ke Ujung Genteng dua tahun silam. Sementara dari segi cuaca, tidak menemui gangguan berarti. Total perjalanan menghabiskan waktu 12 jam. Lambat? Mungkin, tapi yang paling penting, selama 12 jam tersebut, saya menikmati tiap detiknya. Sambil bersiap-siap istirahat, pikiran mulai menerawang target perjalanan berikutnya. Dieng, Bromo atau Jogja? Ah itu nanti saja, sekarang mari kita nikmati dulu sisa hari ini dengan “berkendara” ke alam mimpi. (hnr)
kasian redbastard nya .. mentok di 80 … xixixiixix ……………….
Dieng on June 2nd bro :p …
Lanjutkan perjalananmu esok..
@berly, ente juga belum tentu berani libas tikungan Cijapati 80 km/jam 😛
@#99, siap kumandaaaan! 😛
dieng yuk ach sob…..
Nice sharing bro.., pengin juga nyoba perjalanan jauh dg si Merah.
@lexy, ayo bro.. dicoba… jarak deket aja dulu… misalnya Jakarta-Bandung….
Photone keren2 um
mantap bro, jadi pengen bisa nulis perjalanan kaya gitu…..
kapan bro riding bareng? aku juga gatal nich! 🙂
@aziz, ok bro.. nanti kita contact-contactan lah… 😀
Fotone manteb. Senjatanya apaan tuh..?
Kamera poket bro. Kalo pakai slr ribet. 😀
nek oleh ngerti, pocket nya apa kang bro? #asli tak kira DSLR 😛
mas bro sampeyan pake knalpot lokal yang mana buat refrensi Nita ane,
photo2nya keren
knalpot lokal bro. AZKI performance…
soal foto, hanya memaksimalkan yang ada bro…
sippppp….. mantabbbppp… solo riding is the best…
woooogh, keren.. iye masbro, soekarno-hatta bandung lebih baik dihindari.. macetnya ampun2an -.-
catatan perjalanan yg bagus
blogny juga nyeni nih 🙂
wow,, bagus bahasanya,, nais omm,,
ane juga sering solo riding, meskipun tripnya pendek2,,,,
paling jauh Semarang – Malang,,
tapi ane nikmatin banget,,
@kuda lumping, yup bro. Yang penting enjoy the ride saja…
mantaap alur ceritanya mz bro…….
klo ke bandung…ane saranin main ke daerah caringintilu….daerah padasuka skitar cicaheum
ntar…disuguhkan pemandangan ciptaan tuhan yg sungguh ajaib…… layaknya cijapati..puncakpass..ciwidey…cikajang..lembang…pangalengan…
wuihhh. bro kayaknya jam terbang udah tinggi nih… 😀
menyusuri jalur tersebut memang sedang direncanakan bro, semoga bisa tereksekusi bro….
thx banget atas kunjungannya….
rute yg ane saranin..lumayan enak lah ridingnya…sepi..bagaikan lukisan alam nan elok…jln mulus…
klo dr jkt bdg>ciwidey>cidaun>rancabuaya…
trus pulangnya…rancabuaya>cisewu>pangalengan>bdg….jkt…
selamat menikmati….wlopun sy jg sering..ahmdlh kagak bosen bosen…
12 jam…. bener2 menikmati jalan (pemandangan) neeh….
Kalo saya, pake supra 2003 jarak segitu paling 5-6 jam,,,
Dengan syarat, non stop, stop cuma isi doang,,,
____________
Maaf maaf banget nie ya: Bangun jam 6, apa anda gak shubuhan?
Gak usah dijawab kalo anda bukan muslim,,,
Piss,,,
:D,,,
Btw, perjalanan saya dari Pekalongan – Solo, PP,,,
mantap masbro!
emang paling enak perjalanan sambil menikmati pemandangan.
bukan asal kenceng aja…
yg penting, keep safety riding!!
#alibi
kereeeeeeeeennnnnnnn. . . . . . . . . . . . mantap mas brow, hasil photo photonya and terutama ninja nya hehehehe . . . . . . tapi asli mantap mas brow photonya
ajip bang!!! lanjutkan!