Tour de Garut, Kampung Naga

Bagian ketiga dari empat tulisan

bagian 1
bagian 2
bagian 4

Oleh Henry Parasian
foto tambahan: totogenic & anto cira-cira

Minggu 7/2 – GONG XI FA CAI!
07.30
Semua anggota rombongan sudah bangun, dan bersiap untuk menikmati beberapa obyek wisata di sekitar kota Garut. Rencananya, hari ini kita akan ke Kampung Naga, Kawah Kamojang dan wisata air panas di Cipanas.  Mudah-mudahan cuaca bersahabat agar kami bisa mendatangi seluruh lokasi tersebut. Garut 2016_Day2_01

08.30 Kami berangkat menuju Kampung Naga. Dari aplikasi GoogleMaps, diperkirakan jarak tempuh 24 kilometer, dengan estimasi waktu tempuh 30-40 menit. Kampung Naga dipilih sebagai tempat pertama, karena dipandang lebih nikmat dikunjungi pada pagi hari, dimana suasana di tempat tersebut belum terlalu ramai.

OLYMPUS DIGITAL CAMERAUntuk tiba di kampung Naga, kami berkendara melalui jalan raya Garut-Tasikmalaya, yaitu salah satu jalur utama Pantai Selatan, jalur arus mudik. Antisipasi akan banyaknya kendaraan berukuran besar, maka disepakati untuk tidak terlalu dekat saat group riding. Selama masih bisa melihat rekan di depan, tidak perlu ngotot merapatkan barisan.

Dan benar saja, selain arus lalu lintas mobil pribadi, armada bus AKAP (Antar kota antar propinsi) juga berseliweran. Tentu saja manuver berkendara dikembalikan ke masing-masing, tidak perlu ikut-ikutan. Dengan kontur jalan yang meliuk-liuk dan sedikit menanjak, otomatis rombongan terpecah demi keselamatan bersama. Masing-masing memutuskan kapan waktu terbaik untuk take over kendaraan di depannya. Gak perlu minta jalan, atau berlaga arogan. Toh kita di kampung orang. Yang harus diwaspadai di jalur ini adalah “efek ciluk ba” akibat banyaknya jalan meliuk yang menyisakan blind spot. Beberapa kali kami harus “bubar” formasi karena situasi lalu lintas, lalu regroup lagi. Demikian seterusnya hingga kami tiba di obyek wisata Kampung Naga.

“Bro, katanya tuh kampung ada di bawah, dan cuma bisa lewat tangga turun ke sana. Gak ada jalur alternatif,” ujar Anto dengan muka sumringah.

“Ah yang bener lo?” tanya saya sembari membereskan jaket, helm dan sarung tangan untuk dititipkan ke tukang parkir.

Ternyata memang benar demikian. Kampung Naga terletak di bawah kaki bukit. Untuk mengaksesnya hanya ada satu jalan, yaitu menuruni anak tangga yang jumlahnya 200an. Yah apa boleh buat, sudah tiba di sini kan? Pikir saya dalam hati.

Kami pun mulai menuruni anak tangga yang dimaksud.

“Gaes, jangan pada happy dulu lo semua. Inget loh, nanti baliknya ke sini, kita harus nanjak nih tangga,” ujar saya mengingatkan teman-teman yang lain.

“Yah kita nikmatin aja deh. Mau gimana lagi, kalo gak kuat, malunya rame-rame ini,” jawab salah seorang dari kami.

“Duh dik, jangan mau kalah sama ibu dong. Masa anak muda kalah sama ibu-ibu?” tiba-tiba seorang ibu, dengan wajah penuh keringat dan kelelahan, menginterupsi pembicaraan kami. Si ibu pun melanjutkan perjalanannya kembali ke pintu masuk. Saya hanya tersenyum. Saya yakin, pada saat kembali nanti, akan banyak cerita seru.

Begitu mulai menuruni anak tangga yang dilindungi oleh pepohonan nan rimbun, saya mulai tersenyum membayangkan lelahnya mendaki anak tangga ini saat hendak kembali nanti. Dan tidak butuh waktu lama untuk berpapasan dengan keluarga, orang tua, sepasang muda-mudi yang tampak kelelahan karena menapaki anak tangga. 🙂

Begitu tiba di salah satu spot yang memerlihatkan kita alam indah di sekitar kampung Naga, saya pun berhenti sejenak. Mulailah saya mengandalkan koneksi internet di ponsel, untuk mencari informasi tentang Kampung Naga.

Garut 2016_Day2_03Kampung Naga dikatakan sebagai kampung yang masih menganut kebudayaan leluhur mereka. Artinya, mereka tidak mengikuti gaya hidup modern seperti kebanyakan orang saat ini. Penduduk Kampung Naga hidup dengan bercocok tanam, beternak hingga memelihara ikan. Untuk penerangan, mereka juga masih menggunakan lampu petromak dan sejenisnya. Dan untuk mengairi sawah, mereka mengandalkan aliran air dari sungai di atas bukit.

Perihal asal usul Kampung Naga, sayangnya tidak ada sumber yang valid. Banyak simpang siur. Menurut Wikipedia, ketiadaan sumber sejarah ini karena pusat dokumentasi Kampung Naga dibakar di era pemberontakan DI/TII. Waktu itu, penduduk Kampung Naga tidak ingin bergabung ke DI/TII, oleh sebab itulah tentara DI/TII membakar semua catatan sejarah yang memuat asal muasal kampung tersebut.

Tak lama kemudian, kami sudah tiba di bawah, di jalan setapak yang mengarah ke kampung Naga. Di sebelah kanan jalan terdapat sungai yang cukup lebar, dan di sisi kiri terdapat hamparan sawah hijau dengan latar belakang bukit menjulang tinggi serta pepohonan lebat. Udara memang terasa segar sekali, tiada kebisingan lalu lintas dan angin berhembus sejuk. Sayangnya, kenikmatan alamiah itu menjadi sedikit antiklimak ketika kami melihat sosok familiar di pintu masuk kampung. Apalagi kalau bukan seorang penjual es krim merk ternama yang logo dan warnanya familiar.

“Wadaw, ada tukang es krim. Emang orang kampungnya makan es krim juga cuy?” ujar Anto.

“Kang, punten, seriusan ini jual es krim?” ujar saya.

“Iya, bener. Mau beli a?” jawab si tukang es krim. Yah apa boleh buat, hitung-hitung bagi rejeki, saya pun membeli es krim tersebut. Aneh sih, di tempat yang harusnya kita merasakan gaya hidup tradisional, saya malah makan es krim. 🙂

 Garut 2016_Day2_04Saat memasuki kampung, ada pemandangan unik yang membuat saya berdecak kagum. Rumah-rumah yang berdiri begitu sederhana. Dilihat dari kusen pintu dan jendela, serta warna yang mulai pudar, bisa dibilang rumah para penduduk kampung terbuat dari kerja-kerja manual manusia. Kusen dan konstruksi dari kayu, dinding terbuat dari anyaman kulit bambu, atap terbuat dari ijuk, kursi dan meja juga terbuat dari kayu.

Masuk lebih dalam ke area inti Kampung, kami tiba di sebuah area yang mungkin disebut “alun-alun”? Dan akhirnya kami diam seribu bahasa. Tidak ada yang mengerti mau ngapain lagi di sini. Saat saya mencari dimana keberadaan pemandu wisata, justru tidak tampak. Jadilah kami cuma duduk, melihat banyak wisatawan sibuk membeli barang-barang kerajinan dari penduduk desa.

Garut 2016_Day2_05

“Kita ngapain lagi nih ji?” tanya saya kepada koh biji. Pria Minang itu pun sama bingungnya dengan saya. Bukan jawaban yang didapat, Koh Biji malah bertanya balik. “Ini begini doang? Gak ada pemandu gituh? Atau… ah, jadi bingung.”

Puji lalu berinisiatif masuk lebih dalam ke kampung. Sementara itu, saya mengamati keadaan sekitar yang rada akward. Beberapa penduduk kampung duduk di teras rumah mereka, melihat kami para pendatang. Dari tatapan mata dan wajahnya, mereka menunjukkan keramahan. Di saat yang bersamaan, ada puluhan remaja putra dan putri, yang asyik berfoto dengan pakaian khas sunda (mungkin?). “Mereka kayaknya lagi bikin buku tahunan tuh dat,” ujar Toto. Saya hanya menggangguk saja. Tak lama kemudian Puji sudah kembali. “Di dalam sih gak ada apa-apa dat. Cuma memang kayaknya ini bukan desa wisata, tapi gue akuin dari yang gue lihat, mereka masih hidup sederhana,” ujar Puji memberi laporan ala telik sandhi. Saya berpikir, sepertinya kami tidak well prepared memasuki kampung ini. Mungkin harusnya mencari tahu dahulu dimana bisa menemukan pemandu lokal, sehingga kunjungan ke kampung ini bisa lebih bermanfaat.

Akhirnya disepakati untuk keluar dari Kampung Naga. Bukan karena kampung tersebut tidak menarik. Siapa sih yang tidak ingin berlama-lama di tempat teduh nan rimbun, dengan suara derik sungai menjadi musik alami di telinga? Masalahnya, kami tidak mempunyai pemandu yang bisa memberikan informasi lebih baik tentang kampung ini. Terutama perihal Do’s & Don’t. Dan yang paling terpenting, kami sepakat untuk tidak sembarangan bertamu ke kampung yang sudah dihuni selama puluhan tahun, dan merupakan rumah bagi mereka, para penduduk Kampung Naga. Sekali lagi, kita di kampung orang. 

Garut 2016_Day2_06Seperti sudah bisa diduga, dalam perjalanan kembali ke area parkir, bakal ada “korban” dari ratusan anak tangga yang harus didaki untuk bisa kembali ke area parkir. Dan korban pertama adalah Windu, lalu Toto. Awalnya saya bersedia menunggu Windu, namun karena pria gembul itu terlalu lama beristirahat, maka saya pun memutuskan untuk berjalan sendirian. Well, meniti anak tangga ini, seperti membangkitkan memori ketika hobi naik gunung belasan tahun silam. Bedanya, kali ini tidak well prepared. Jadilah, napas sedikit ngos-ngosan hingga tiba kembali di atas.

“Loh mas, temannya si gendut mana?” kelakar kumpulan ibu-ibu yang kami temui saat memasuki kampung Naga beberapa saat lalu.

“Wah dia pingsan bu. Jadi, yah saya tinggal saja!” jawab saya bercanda. Dan sontak kelompok ibu-ibu tersebut tertawa renyah. Teman saya yang dimaksud mereka, tentu saja, siapa lagi kalo bukan Windu? 🙂

15 menit kemudian, semua sudah tiba di warung makan tempat saya, Anto, Tirta dan Koh Biji menunggu. Windu dan Toto mengatur napas sembari tak henti minum air mineral dingin pemuas dahaga.

“Gila sih, uedan!” ujar Windu.

“Gimana to? Napas lu masih ada gak?” tanya saya ke toto.

Toto tidak menjawab. Dia hanya nyengir kuda. Kami menghabiskan waktu untuk beristirahat di warung tersebut. Saran saya, bagi kalian yang ingin ke kampung Naga, harap mengorganisir dengan baik. Cari pemandu wisata, sehingga kunjungan bisa mendapatkan informasi yang maksimal.

“Yuk, lanjut ke Kawah Kamojang,” ajak Andjoe yang diikuti dengan pergerakan menuju parkiran.

Bersambung…

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑