Secuil Jajanan Cirebon

Cirebon Tahu Gejrot“Lu gak bakal nyesel gue ajak ke Cirebon dah!” demikian ujar Irwan saat kami mulai memasuki kota Cirebon, Sabtu (11/11) pagi hari. Memasuki kota Udang ini, suasananya tidak ada yang istimewa, kondisi lalu lintasnya pun sama seperti kota-kota satelit pinggiran Jakarta yang cenderung ramai. Irwan tidak bercanda ketika mengatakan saya akan menikmati kunjungan ke Cirebon. Dalam waktu singkat, kami sudah tiba di salah satu warung nasi jamblang terkenal di Cirebon. Warung Nasi Jamblang Mang Dul namanya. Terletak di jalan Dr. Cipto Mangunkusumo. Tepatnya di  depan Grage Mall. Nasi jamblang adalah salah satu jajanan khas Cirebon. Nasi putih harum tersebut, ukurannya sebesar kepalan tangan orang dewasa. Dibungkus dengan daun jati, yang berwarna hijau tua, nasi ini mempunyai harum yang khas.

“Dua atau tiga mas?” tanya si mbok pelayan nasi Jamblang. Si mbok, duduk di belakang serangkaian baskom berisi makanan tambahan. Secepat kilat, insting saya mengatakan “Dua”. Maka keluarlah kata tersebut dari mulut saya. Dan benar saja, ketika jam baru menunjukkan pukul 10 pagi, saya sudah bersiap menyantap dua porsi nasi jamblang! Tahap selanjutnya cukup “berbahaya” dimana kita memilih lauk untuk menemani nasi tersebut. Tersedia tahu goreng, tempe goreng, tahu isi, sayur tahu, ayam goreng, telor dadar, jeroan dan lain-lain. Nah saat memilih lauk ini, saya takjub dengan para pengunjung yang banyak memilih lauk-lauk kelas berat seperti ayam, jeroan dan lainnya. Itu belum terhitung rata-rata pengunjung meminta tiga nasi bungkus. Dengan pertimbangan yang seksama dan tempo yang super singkat, saya hanya memilih tahu goreng dan telor dadar sebagai lauk. Plus kuah dari sayur tahu dan sedikit sambal.

Lauk Pauk Nasi Jamblang. Foto: Azdi.
Lauk Pauk Nasi Jamblang. Foto: Azdi.

Dengan nasi yang masih hangat, saya mulai menikmati sarapan khas Cirebon. Saat menyeruput kuah sayur tahu, ada rasa asin yang langsung menyambar lidah. Lalu, tahu yang segar dan mudah dikunyah, membuat mulut ini terus mengunyah. kuahnya tidak terlalu kental, tetapi kegurihannya pas. Sembari memakan tahu dan telur dadar, rasa nikmat dari kuah sayur ini tetap melekat. Dan tentu saja sambal yang siap “diciduk”. Jika melihat warnanya, pasti nyali sempat kecut. tapi setelah diyakinkan oleh Irwan kalo sambal itu tidak terlalu pedas, saya pun beranikan mencoba. Warnanya yang merah, disertai irisan-irisan cabai yang menjadi kamuflase sejati dan momok bagi siapapun yang belum pernah mencoba. Pedasnya biasa saja, tetapi kadar kepedasannya setara untuk menemani nasi jamblang sebagai menu utama. Hanya butuh waktu 15 menit bagi kami bertiga untuk menghabiskan semua menu yang dipilih. Totalnya kami bertiga hanya menghabiskan 36ribu rupiah saja. Mmh, murah juga. Sayangnya karena hanyut terbawa suasana, saya lupa memotret makanannya. Namun, kesimpulannya, Nasi Jamblang patut dicoba untuk sarapan pagi hari. Tentunya dengan porsi yang pas dengan kapasitas lambung masing-masing. 😀

Siangnya, setelah beraktivitas dengan rekan-rekan RSA (Road Safety Association) kami memutuskan untuk makan siang di warung makan Empal Gentong Bu Darma. Menurut irwan, warung makan ini sudah ada sejak dia masih duduk di sekolah menengah pertama di Cirebon. Dulunya, yang menjadi koki adalah pak Darma. Setelah beliau meninggal, istri dan anaknya yang meneruskan usaha. Warung sederhana nan rimbun ini terletak di daerah Krucuk.

Empal Gentong Bu Darma disajikan dalam mangkuk berukuran sedang berwarna putih susu.  Saya memilih menu “Daging” ketimbang “Campur”. Pasalnya menu “campur” turut menyertakan jeroan yang tentu saja RED LABEL alias kudu dijaga konsumsinya. Kuahnya yang berwarna kuning agak transparan mengingatkan saya akan sayur lontong Betawi dekat rumah. Irisan daging yang berukuran sedang terlihat di permukaan kuahnya. Yang membuat air liur ini nyaris jatuh, adalah irisan daun seledri yang berwarna hijau, tampak kontras dengan warna kuahnya, membuat ingin segera menyeruput. Kontur daging yang tampak jelas pun membuat mulut tak berdaya untuk segera mencicipinya.

Empal Gentong Bu Darma

Saat mencicipi untuk pertamakalinya, wah mantab. Rasa khas makanan Indonesia, gurihnya pas. Ada sedikit kombinasi asin (atau mungkin asam) di sela-sela rasa segar kuah. Begitu tiba di mulut, kuah panas tersebut benar-benar menyedot perhatian indera pencicip makanan. Lalu sepertinya ada yang lupa, oh ya, jeruk nipis! Setelah itu lengkaplah rasanya. Empal Gentong ini, mempunyai rasa segar khas masakan Indonesia dengan kombinasi rempahnya, plus ditambah sambal, makin mantab. Warna sambal yang merah bercampur warna kuah kuning membuatnya makin menarik. Dan saat melahapnya, dengan nasi tentu saja, tiba-tiba saja sepiring kerupuk kulit yang baru saja matang disajikan. Damn! Benar-benar nikmat tiada tara. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk mengkobinasikan suara slurpp kuah dan crunchy kerupuk kulit tersebut.

Walaupun sempat ada asa ingin menambah porsi nasi, namun mengingat kegiatan hari itu masih banyak, saya mengurungkan niat.  Akhirnya jadilah menikmati empal gentong dengan kerupuk kulit, tanpa nasi, menjadi penutup. Segar rasanya, makan nikmat tanpa perlu kekenyangan. “Bang, masih ada lagi satu tempat makan empal gentong yang harus dikunjungi.” Ujar Afi, salah seorang rekan. Hadeh, saya Cuma bisa mengelus perut yang jarum kekenyangannya sudah nyaris menyentuh huruf “F”.

Minggu (12/11)
Malam tadi, karena satu dan lain hal, kami gagal mencicipi beberapa panganan khas Cirebon lainnya. Namun Irwan, sang tuan rumah tidak kehilangan akal. Diam-diam dia sudah menyiapkan strategi jitu. Sekitar jam sembilan kami sudah merapat ke pasar Kanoman. “Di sini banyak pilihan. Terserah lu mau makan apa. Mau cemilan, banyak. Mau makanan berat, juga banyak.” ujar Irwan saat kami mulai menyusuri pasar tersebut. Di kiri-kanan pasar terdapat berbagai macam jajanan. Ada beberapa gerobak dan warung yang sudah dipenuhi pengunjung. Saya tidak sempat melihat apa nama warung-warung tersebut. Namun yang saya sempat perhatikan, sebuah warung penjual telor asin dan susu murni sapi juga dijejali oleh pengunjung.

Menu pertama kami adalah Docang. Dari namanya saja, saya sudah sulit menerka ini jenis apa. Belum sempat saya berpikir lebih panjang, tiba-tiba Irwan menaruh sebuah plastik berisi bungkusan yang terbuat dari daun pisang. Awalnya saya mengira itu “otak-otak”, tetapi ternyata saya keliru. “Ini namanya botok dage. Salah satu cemilan orang Cirebon. Tapi kalo gue sih, enaknya digado sama nasi dan kerupuk.” Demi topan dan badai halilintar, masak cemilan digado sama nasi dan kerupuk? itu sih namanya makanan berat, batin saya dalam hati.

Botok DageBegitu saya buka, didalamnya hanya semacam sambal (awalnya saya pikir demikian). “Itu campuran ampas tempe dengan daun kemangi, plus gue gak tahu lagi deh apa campurannya.”  Ujar Irwan yang sadar muka saya menunjukkan kebingungan. Walaupun agak ragu, saya mencicipi batok dage tersebut. Waduh, kok nyetrum begini rasanya? Dengan bau khas kemangi, makanan ini sedikit lembek, namun cukup padat dan ada sedikit rasa pedas plus asin. Bikin air liur mulai mewabah di rongga mulut. Lalu, dengan sigap, Azdi mengambil plastik yang berisi kerupuk. Dan jadilah, makanan pembuka kami itu resminya adalah botok dage. Satu bungkus pun habis. Tito yang awalnya ragu, mulai mengunyah tiada henti. Begitu juga dengan Azdi. Jadilah kami bertiga “menggado” botok dage dengan kerupuk.

Docang CirebonSaat masih asyik mengagumi makanan sederhana nan penuh rasa ini, Docang pesanan pun tiba. Tampilannya nyaris menyerupai lontong sayur di pinggiran kota Jakarta. Namun bedanya, kuahnya tidak kuning melainkan agak bening. Kombinasinya adalah parutan kelapa dipadu dengan daung singkong, lontong dan toge plus sambal. Awalnya agak aneh rasanya, mungkin karena belum terbiasa. Tetapi setelah beberapa sendok, rasa segar menyelimut rongga mulut. Ini mungkin karena banyaknya sayuran rebus seperti toge dan daun singkong yang dilibatkan. Mulut tidak berhenti mengunyah. Saat itulah mata menangkap beberapa bungkus batok dage yang masih “menganggur”. Akhirnya diputuskan untuk mengkombinasikan alias mengoplos dua makanan tersebut. Waduh, rasanya makin “nano-nano” tapi jujur penuh rasa semriwing yang tak bisa diucapkan. Asin, gurih ringan, lontong yang empuk, sayur segar ditambah rasa daun kemangi membuat lidah ini ingin terus dibuai. Dan kerupuk pun menjadi teman setia “oplosan” ini. Lengkap sudah makanan pembuka pagi ini.

Saat sedang menunggu perut memproses makanan yang sudah dikunyah, Irwan berkata “Yuk kita lanjut makan tahu gejrot.” Tanpa tunggu perintah lebih lanjut, langsung saja kami duduk di pojokan pasar, tempat warung tahu gejrot mang Wardi berada. Piringnya kecil, sepertinya dibuat dengan tradisional dari tanah liat. Kuah khas tahu gejrot berwarna hitam, ditutupi oleh sekumpulan tahu-tahu kecil. Mang Wardi mengatakan tahu-tahu tersebut berasal dari pabrik tahu di sekitar cirebon. Tidak ada yang “diimpor” dari luar cirebon.

Tahu GejrotNdilalah, kuah tahu gejrot yang cenderung manis, asin dan pedas tersebut seakan menjadi pelumas untuk terus mengunyah tahu. Awalnya seperti tiada rasanya, lalu dicoba lagi tahunya dan tanpa disadari, dari porsi yang disodorkan, tahunya hanya tinggal 5 biji. Kuah yang ternyata ditaburi irisan bawang dan cabe rawit itu pun akhirnya memberikan penjelasan kenapa tahu yang dikunyah seakan minta ditambah dan mulut ingin mengecap selalu. “Kuahnya harus dihabisin tuh. Kalo gak gituh, gak sah makan tahu-nya”. Ujar Adi, yang ikut menemani kami. Tito, dengan refleksnya menyeruput kuah tahu tersebut hingga habis. Saya hanya bisa tersenyum melihat hal itu. Dan sontak kami bertiga pun tertawa terkekeh-kekh melihat Tito menahan pedas di lidahnya. Saya jamin, itu rasa pedas akan bertahan cukup lama di kerongkongannya. 😀

Seusai mencicipi tiga makanan khas Cirebon dalam waktu kurang dari 1 jam, akhirnya kami harus berpisah. Azdi dan Tito harus kembali ke Buntet, Cirebon untuk suatu urusan. Sementara saya, Irwan dan Adi harus kembali ke arah Ibukota. “Kayaknya lo kudu balik lagi bro. Masih banyak yang belum dicobain. Ada Mie Kocok, krupuk sambal, Encrot, Bubur Sop Ayam…” Saya tidak memedulikan perkataan Irwan, hanya mencoba bertahan untuk tetap mengawasi kendaraan di depan saat Irwan mengemudi. Sepertinya, harus balik lagi ke Cirebon nih, ujar saya dalam hati.

“Biaya Operasional”:
Nasi Jamblang, harga tergantung lauk yang dipilih.
Empal Gentong estimasi kisaran 10ribuan per porsi.
Botok Dage Rp. 2.000,- /porsi
Tahu Gejrot Rp. 5.000,- /porsi
Docang Rp. 7.000,- /porsi

5 respons untuk ‘Secuil Jajanan Cirebon

Add yours

  1. whhh empl gentongnya mantap banget,,
    maaf gan boleh minta resepnya dari empl gentong ga?
    oia untuk docang apa bedanya dengan pecel?
    terimkasih 😉

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑