Tour de Garut, Puncak Guha dan Pantai Santolo

Bagian kedua dari empat tulisan

bagian 1
bagian 3
bagian 4

Oleh Henry Parasian
foto tambahan: totogenic & anto cira-cira

“Dat, bangun woi. Udah gue pesenin kopi nih,” ujar Anto membangunkan saya sembari menyodorkan secangkir kopi hitam di meja. Harumnya aroma kopi hitam memaksa saya untuk bangun dan mengkonsolidasikan jiwa dan pikiran yang sempat hybernate ini. Perjalanan masih jauh, dan masih banyak tempat yang harus dikunjungi. Setelah cuci muka dan menyeruput kopi hitam tadi, saya mengajak teman-teman untuk melanjutkan perjalanan.

Garut 2016_Day1_10

Dari Cisewu kami kembali menemui kontur jalan tak jauh berbeda; tanjakan curam, turunan, tikungan tajam dan sebagainya. Kali ini bahkan lalu lintas agak sedikit ramai karena bertemu dengan beberapa rombongan. Salah satunya adalah rombongan mobil sedan era 80-90an yang asik melibas tanjakan dan tikungan. Mereka terdiri dari beberapa mobil; Mitsubishi Galant, Toyota Corolla dan lain sebagainya. Ada kalanya kami harus mengalah, namun ada saatnya juga mereka memberikan jalan kepada kami.  sepertinya terjadi pengertian antara kami pengguna kendaraan tua. Bunyi klakson pun saling bersahutan, sebuah budaya para penikmat touring yang tak lekang termakan jaman. Tak lama setelah itu, kami tiba di persimpangan.

“Kalo ke kanan, bisa tembus ke Ujung Genteng. Lurus ke arah pantai Ranca Buaya. Sedangkan ke kiri, itu tujuan kita. Ke puncak Guha, lalu Pantai Santolo dan Pamengpeuk,“ tambah Andjoe, rider kalem yang sudah pernah ke titik 0 KM, Sabang, Aceh. Akhirnya tiba juga di Ranca Buaya, pikir saya. Perlahan, rombongan mulai berkumpul.

Saat sedang beristirahat di perempatan Ranca Buaya, saya putuskan untuk mengisi ulang bahan bakar. Yah, sebagai antisipasi saja. Sebab, SPBU terdekat ada di Pamengpeuk yang jaraknya masih 20an kilometer. Akhirnya saya mengisi di pertamini, dan untuk bensin jenis premium, saya harus bayar Rp. 10.000 /liter. Bah, sudah mahal, premium pulak, ujar saya dalam hati. Tetapi saya memaklumi, mungkin karena lokasi yang jauh dari kota, membuat harga bensin premium lebih mahal.

09.00 PUNCAK GUHA
Puncak Guha adalah sebuah obyek wisata alam yaitu dataran tinggi yang letaknya di pinggir jurang pantai selatan jawa. Asumsi saya, tempat ini disebut Puncak Guha karena ada gua (Guha) berada di tempat yang tinggi (Puncak). Yang menarik dari tempat ini (harusnya) adalah pemandangan lepas pantainya. Berada di tepi jurang, kita bisa memandang ke samudra Hindia nan luas. Namun, demi keselamatan pengunjung, barisan pagar besi sudah dibangun di sepanjang tepian. Akibatnya, kesan natural berkurang drastis.

Garut 2016_Day1_13“Dulu sih belum ada pagar. Jadi fotonya bakal keren. Kalau kayak begini, jadi gak bagus buat difoto,” ujar Puji yang untuk keduakalinya mengunjungi tempat ini. Tempat ini cukup luas untuk menampung parkir puluhan, bahkan mungkin ratusan sepeda motor. Namun tidak demikian untuk kendaraan roda empat. Pasalnya, selain belum didesain untuk mobil, seluruh akses harus melalui jalur tanah yang slippery. Jika dalam kondisi basah, bisa berakibat kurang mengenakkan bagi kendaraan roda empat. Oh ya, untuk masuk ke area ini hanya dipungut bayaran lima ribu rupiah saja.

Garut 2016_Day1_14

Selain pemandangan ke lautan lepas, di area ini juga terdapat sebuah gua yang dihuni oleh ratusan kelelawar. Entah sejak kapan kelelawar di gua ini eksis, namun berdasarkan penuturan sang penjaga parkir, para “dracula” ini sudah puluhan tahun menjadi penghuni gua tersebut.

Garut 2016_Day1_15

Setelah membangunkan Anto dari tidurnya yang pulas, kami melanjutkan perjalanan. Tujuan berikutnya adalah Pantai Santolo yang terletak di Pamengpeuk, Garut.

Lagi, jalur selatan jawa barat memberikan pemandangan khasnya; Pantai selatan di kanan, dilengkapi dengan bukit savana, lalu di sebelah kiri perbukitan nan hijau. Dengan aspal nan mulus, kami menuju Santolo.

Garut 2016_Day1_16
OLYMPUS DIGITAL CAMERA

11.00 PANTAI SANTOLO
Kami tiba di Pamengpeuk saat sinar matahari sudah di atas kepala. Alhasil, kami mencari tempat teduh untuk menunggu berkumpulnya seluruh anggora rombongan.

“Yuk, kita lanjut lagi ke sana, ke arah pantai,” ucap Andjoe setelah kami berkumpul.
“Loh, emang masih jauh?” tanya Anto.
“Gak lah, cuma kawasan pantainya harus masuk lagi ke dalam sana,” ujar Andjoe menunjuk arah yang dimaksud. Rombongan pun melanjutkan perjalanan menuju area pantai Santolo.

Nah, kondisi jalannya justru tidak sebaik jalan utama tadi. Berbatu, berdebu dan berlubang. Sungguh kontras dengan kenikmatan yang baru saja kami rasakan saat melalui jalan utama.  Nah, saat sedang berkendara santai, tiba-tiba saja saya melihat tulisan “LAPAN” di sebuah dinding bangunan yang tampaknya tertutup untuk umum. Ketika saya mendekat, terdapat tulisan “BALAI PRODUKSI DAN PENGUJIAN ROKET”. Akhirnya, sampai juga di sini, pikir saya dalam hati. Biasanya hanya mendengar nama lembaga ini.

“Ini pantainya. Kita masuk agak ke dalam lagi yah,” Ujar Andjoe, saat kami tiba di kawasan Pantai Santolo. Saat itu, tidak tampak sama sekali pantai. Yang ada hanya barisan warung, wisma, motel yang memenuhi area. Ditambah lagi dengan parkir mobil yang tidak rapih sehingga menimbulkan kesan semrawut. Kami pun dipandu oleh seorang juru parkir, melewati kepadatan parkiran motor, dan akhirnya diberikan area parkir di pinggir pantai, tepatnya di depan warung.

“Nih beneran parkirnya kayak gini?” tanya saya ke Andjoe.
“Emang kayak begini dat kalo di sini,” Jawab pria pengguna Scorpio itu nyengir kuda.

Setelah beres memarkir kendaraan, kami baru paham bahwa untuk bisa menikmati pantai Santolo yang sesungguhnya, harus menyeberang menyeberang muara kecil menggunakan perahu. Dengan Rp. 2.000,- /orang kami diantar oleh pemilik perahu, dan dijemput kembali jika sudah selesai. “Pulau” itu sendiri sebenarnya hanya berjarak 10-20 meter dari tempat parkir kami. “Katanya sih gak terlalu dalam, cuma 2-3 meter. Kenapa gak dibikin jembatan aja yak?” tanya Koh Biji sembari mengumbar senyum jahilnya.

Garut 2016_Day1_18

“Yah buat membantu nelayan sini kali ji. Lumayan kan, mereka dapat pemasukan,” ujar saya sembari melihat ke arah muara. Namun belum sempat saya menoleh kembali ke arah laut, kami sudah tiba di bibir pantai pulau tersebut.

12.00 Dengan biaya masuk Rp. 4.000,- /orang kami mulai menapaki pulau Santolo. Namun lagi-lagi harus sedikit kecewa karena pemandangan ke arah pantai tertutup oleh puluhan pondokan di pinggir pantai, yang sepertinya milik tiap-tiap warung di depannya. Otomatis jika ingin nongkrong di pondokan tersebut, yah harus jajan bukan?

Garut 2016_Day1_19Kekecewaan kami terobati ketika mendapati satu area yang unik sebagai latar belakang foto. Sebuah bendungan dengan tinggi 10 meter berdiri membatasi antara muara sungai dan laut selatan.

Garut 2016_Day1_2014.00 Kami sempat berdikusi apakah akan santai ngupi di Santolo, atau lanjut ke Garut. Mengingat waktu dan perjalanan ke Garut yang masih jauh (3-4 jam perjalanan) maka diputuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Garut.

15.00 Setelah mengisi bensin di kota kecil Pamengpeuk, rombongan mulai bergerak menuju Garut. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk menghadapi kembali medan khas pegunungan;  tikungan demi tikungan yang disambut dengan tanjakan dan turunan curam.

Di tengah perjalanan, gerimis sempat menghampiri, tapi rombongan tampaknya tidak ingin membuang waktu hanya untuk mengenakan jas hujan. Perjalanan dilanjutkan dibawah siraman air hujan di tengah sejuknya udara pegunungan. Rasa lelah mulai muncul, namun konsentrasi harus tetap dijaga. Untuk mengusir rasa ngantuk, beberapa kali terjadi saling overtake diantara kami. Yah wajar, terkadang adrenalin membuat kita lebih “melek”.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
OLYMPUS DIGITAL CAMERA

16.30 Tiba di Cikajang, istirahat sejenak di minimarket sembari mengusir lelah dan ngantuk. Kami juga mengevaluasi dan merencanakan group riding untuk tahap berikutnya. Diputuskan kali ini untuk lebih tertib karena banyak jalan bercabang, dan kondisi menjelang gelap. Belum lagi faktor kelelahan yang dikhawatirkan bikin konsentrasi dan reflek berkurang. Formasi kembali ke awal, Andjoe di depan, saya dan koh Biji sebagai sweeper di belakang. Sisanya, Anto, Puji, Tirta, Windu dan Toto berada di tengah.

17.00 Melalui Boyongbong, kami mulai bergerak. Kekhawatiran akan kelelahan mulai terjadi tidak lama kemudian. Susunan rombongan mulai berantakan. Anto dan Windu terlihat melambat dan selalu tertinggal rombongan. Puji selalu mengubah posisinya, kadang ada di tengah, kadang ada di belakang rombongan. Sementara saya dan Koh Biji agak kerepotan karena harus menunggu Anto dan Windu yang kerap tertinggal, namun juga harus memastikan rombongan di depan masih terlihat. Saat seperti ini, saya berharap kami menggunakan Rakom seperti saat touring ke Ciwidey lalu.

Dengan susah payah, formasi group riding kembali terbentuk. Seusai maghrib, kami tiba di pintu masuk kota Garut, dan disambut dengan gerimis disertai angin sejuk. Setelah berputar-putar beberapa saat, akhirnya kami bisa menemukan penginapan yang sudah dibooking oleh Andjoe.

Nama Penginapan ini adalah Wisma PKPN, penginapan sederhana yang bersih dan asri dengan harga terjangkau. Kami menyewa sebuah kamar besar yang terdiri dari 3 kamar tidur, ruang tamu besar dan 1 kamar mandi, 3 extra bed, total 450 ribu /malam. Harga yang murah sekali untuk 8 orang. Oh ya, harga itu termasuk sarapan berupa nasi kuning/nasi goreng untuk setiap orang.

Sembari menunggu giliran mandi, beberapa diantara kami membongkar isi tas yang dibawa, membereskan pakaian tidur, mendengarkan musik, melihat foto-foto perjalanan yang disertai senda gurau khas biker. Tak terasa, kami sudah 18,5 jam berkendara, menempuh jarak 394 kilometer dan entah sudah berapa kali mengisi ulang bensin motor masing-masing.

Cuaca malam nan sejuk kota Garut mulai memberikan dampaknya. Masing-masing sibuk dengan urusannya. Windu dan Puji selonjoran, Anto dan Koh Biji asyik ngobrol di teras kamar. Puji asyik bermain game di ponselnya. Tirta pamit tidur terlebih dahulu di kamarnya. Toto dan Andjoe sibuk menseleksi kue putu dan klepon yang baru saja dibeli. Sementara itu, melalui earphone, saya harus rela dituntun oleh Slow Dancing in a burning room-nya John Mayer memasuki alam mimpi.

Bersambung…

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑