Menghampiri Tanah Dieng (Bag. 2)

Bagian kedua (selesai).

CANDI ARJUNA
Usai melahap tempe kemul dan jamur goreng di warung dekat pintu masuk kawah, kami pun melanjutkan kunjungan ke komplek candi Arjuna. Sore itu, udara sejuk mulai masuk menelisik rompi dan lengan panjang yang saya kenakan.

Blog Dieng_Candi Arjuna

“Ini kenapa yah, Candi kok rata-rata berada di gunung?” tanya Ony, pekerja kontraktor yang waterproof alias tak bisa berenang itu. Saya menjawab, bahwa biasanya, mungkin, candi ini dibangun di pegunungan untuk ritual persembahan kepada dewa (Yah ini juga kalau tidak salah). Namun jika dilihat dari nama Dieng yang berasal dari bahasa Kawi, DI (tempat) & Hyang (Dewa), maka jelaslah Candi ini tempat bersemayamnya para Dewa.

Komplek Candi Arjuna sendiri terdiri dari empat Candi. Di ujung selatan, Candi Arjuna, lalu memanjang ke arah utara; Candi Srikandi, Candi Sembadra dan Candi Puntadewa. Sayangnya, salah satu Candi sedang dalam proses rekonstruksi, sehingga mengurangi kemegahan bangunan kerajaan tersebut. Nah, komplek Candi Arjuna dikelilingi oleh pemandangan khas dataran tinggi Dieng, yaitu pegunungan. Tak ayal, banyaklah para pelaku selfie. Yah, termasuk juga kami. :mrgreen:

Sementara Gogon dan Koh Biji asyik melihat-lihat area candi, saya, Ony, Bobski dan Irwan justru asyik beristirahat selonjoran di rumput empuk komplek candi Arjuna. Bobski menjadi tukang foto dadakan, entah dengan modus apa, namun sepertinya cukup sukses membantu para wanita berfoto bersama. Sementara Irwan asyik menelpon. Dan Ony, hanya bisa berkata, “Njrit, kok makin lama makin dingin nih.” Mendengar itu, saya pun mengecek temperatur sekitar dengan aplikasi di ponsel. Angka 15 C muncul, dan saya tunjukkan itu kepada Ony. Dia kembali meringkuk dengan bantuan jaketnya. Sore menjelang, matahari mulai hilang, saat angin dingin mulai menerpa tubuh kami yang lelah. Bagi kami, itu tandanya untuk segera ke penginapan.

Malam itu, diselimuti dinginnya suhu Dieng yang mencapai sekitar 10-12C, kami bercengkrama dengan mengingat tingkah polah selama berkendara. Tak ayal, tawa meledak ketika masing-masing membahas kekonyolan selama di jalan. Tak kalah konyolnya, tiba-tiba saja kami mendengar pengumuman bahwa malam itu, tak jauh dari tempat kami menginap, panggung dangdut sudah dimulai. Sontak, lagi-lagi kami tertawa. “Bakal mimpi dangdutan nih!” ujar Koh Biji, disambut gelak tawa kami semua. Tapi toh, hingar bingar panggung dangdut itu tak mampu meredup daya kantuk kami hingga akhirnya satu per satu masuk ke dalam perlindungan kasur dan bantal empuk serta selimut wol tebal yang menghangatkan tubuh.

Blog Dieng_Penginapan_Malam

Gardu Pandang
Minggu (16/8) pagi, obrolan ringan beberapa teman mulai membuka aktivitas hari itu. Rencana melihat matahari terbit di Puncak Sikunir diurungkan. Pasalnya, untuk tiba di tempat itu, harus bangun jam 4 pagi, lalu berkendara ke lokasi parkir di bawah dan berjalan 30 menit ke atas. Melihat syarat itu, nyaris semua mengangkat bendera putih dan lebih memilih memulihkan badan dengan tidur pulas.

Dieng_SarapanSetelah sarapan kentang goreng dan tahu kemul, maka diputuskan untuk mengunjungi gerbang “Dieng Plateu” yang menjadi lokasi favorit berfoto para pengunjung dataran tinggi Dieng. Apes, jam 9 pagi saja sudah sangat ramai pengunjung yang mencoba berfoto di gerbang itu. Alhasil, kami cukup kecewa tidak bisa mendapatkan kesempatan berfoto tanpa harus berebutan dengan pengunjung lainnya.

blog dieng_Gerbang Dieng“Kita ke Gardu Pandang. Di situ pemandangannya lebih keren.” Ujar Andi Joe. Tim pun langsung melanjutkan perjalanan. Dan benar saja, seusai menikmati jalan mulus berliku-liku, kami berhenti di Gardu Pandang tersebut. Bangunannya semacam menara kecil, dimana orang bisa naik dan menikmati pemandangan dataran tinggi Dieng, dengan latar belakang Gunung Sumbing dan Sindoro serta perbukitan hijau.

Blog Dieng_Gardu Pandan1“Kita turun ke situ dat.” Ujar Irwan menangkap kesempatan adanya lokasi berfoto yang tidak ramai oleh pengunjung. Posisinya persis di bawah Gardu Pandang, berjarak 20 meter. Dan jadilah foto yang menurut saya, menjadi penutup kegiatan kali ini.

Blog Dieng_Gardu Pandang2

Blog Dieng_foto Bersama Gardu PandangSetelah Gardu Pandang, kami mengunjungi Dieng Plateu Theatre dan Telaga Warna. Sayangnya, infrastruktur jalan menuju dua obyek wisata ini bisa dibilang kurang terawat. Begitu juga dengan lahan parkir yang tidak mampu menampung semua mobil/motor yang pengunjung. Akibatnya, banyak mobil dan minibus yang parkir di pinggir jalan, yang mengakibatkan kemacetan.

Blog Dieng_Telaga Warna2

Blog Dieng_Telaga WarnaKetika tiba di Dieng Plateu Theatre pun kami sempat bingung memarkir kendaraan karena terkesan motor parkir di tempat yang tak semestinya, membuat pengunjung lainnya tidak nyaman. Karena itu pula, kami tidak berlama-lama berada di tempat terakhir tersebut.

Menjelang pukul 15.00, kami beriringan meninggalkan datarang tinggi Dieng. Kembali melewati Batur, Kalibening hingga mencumbui hutan Linggo Asri. Ke Dieng saja, kami sudah melewati 440an kilometer. Jika ditotal, bisa 800an kilometer kami lalui hanya untuk tiba di dataran tinggi Dieng dan pulang kembali. Melawan kantuk, memaksa tubuh bekerja keras dari biasanya, menggeber mesin motor menanjak di tanjakan curam, beradaptasi dengan suhu dingin yang jarang kami rasakan hingga pasrah mengisi bahan bakar kualitas seadanya. Setimpalkah semua itu? Bagi saya pribadi, kata-kata saja tidak bisa menggambarkan kenikmatan kunjungan kami.

blog Dieng_anjoe2Pramoedya Anata Toer, salah seorang pujangga sastra Indonesia pernah menulis dalam trilogi Bumi Manusia, “Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan”, Yah, mungkin inilah cara kami berterimakasih kepada Dia yang memberikan keindahan alam nusantara secara cuma-cuma. Tanpa perlu bergaya bak petualang sejati, kami bisa menikmati Dieng. Tanpa perlu arogansi, kami bisa ngobrol dengan pemilik penginapan, ibu si pemilik warung hingga mas Budi penjual tahu dan kentang goreng di kawah Sikidang. Bagi kami, itu sudah cukup untuk mewujudkan syukur di republik yang berumur 70 tahun ini. Dan semakin sadar mengapa pejuang kemerdekaan, rela mengorbankan jiwanya demi menjaga tiap jengkal Ibu Pertiwi. Dieng, bagi kami, warnanya merah putih dan itu adalah harga mati. Merdeka!(hnr)

4 respons untuk ‘Menghampiri Tanah Dieng (Bag. 2)

Add yours

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑