Menghampiri Tanah Dieng (Bag. 1)

Bagian pertama dari dua tulisan.

Blog Dieng_1“Ke kawasan gunung yuk? usul saya dalam kesempatan ngupi bersama beberapa teman, sebelum hari raya lebaran Juli lalu. Ide saya pun disambut baik. Tanpa banyak perdebatan, dataran tinggi Dieng menjadi tujuan perjalanan kali ini. Dan libur panjang (long weekend) hari raya kemerdekaan (15-17/8) pun disepakati sebagai tanggal eksekusi.

Jumat (14/8) malam, kami berkumpul di SPBU Pertamina, dekat pintu tol Bekasi Barat. Semuanya peserta perjalanan, baru saja pulang dari bekerja atau beraktivitas. Alhasil, rencana berangkat pukul 22.00 pun molor hingga pukul 23.00 karena banyak yang terhambat lalu lintas Jakarta dan juga keperluan lainnya. Secara keseluruhan, ada 10 motor; 5 motor bebek, 1 skutik dan sisanya motor sport. Briefing singkat dilakukan untuk menentukan rute perjalanan, group riding hingga checkpoint atau titik kumpul selama perjalanan. Diputuskan menggunakan rute pantura: Bekasi-Karawang-Cikampek-Pamanukan-Jatibarang-Palimanan-Cirebon-Brebes-Tegal-Pemalang-Pekalongan-Kajen-Linggo Asri-Batur-Dieng. Dan selama perjalanan dibuat 3 checkpoint yaitu di Pamanukan, Cirebon dan Pekalongan.

Pukul 23.00, tim mulai menuju checkpoint #1 yaitu Pamanukan. Nah, dikarenakan dalam rombongan ada dua jenis kendaraan, maka dari awal saya sudah mengatakan jika tim motor sport hendak “ngebut”, tidak ada masalah selama mereka dalam satu grup. Sementara tim bebekers tetap menyusul, dan bertemu di tiap-tiap checkpoint. Menjelang jalur alternatif Karawang, Andy Joe (yang pernah menjajal jalur Sumatera menuju Aceh), “bikin pemanasan” yang memancing tim sport langsung berkendara dengan kecepatan tinggi. 4 motor sport dan 1 skutik pun ngacir. Sementara bebekers, tahu diri dengan kemampuannya, berkendara sesuai “kodratnya”. J

Tidak butuh waktu lama bagi tim untuk merasakan tantangan berkendara di Pantura. Pekatnya malam di jalur Pantura (Pantai Utara) disertai minimnya penerangan jalan raya membuat mata bekerja keras mengawasi lalu lintas sekitar. Namu entah siapa yang memulai, bebekers tiba-tiba saja asyik masyuk berkecepatan tinggi. Saya, yang speedometernya sudah mati (maklum bebek discontinue), tidak bisa melihat berapa kecepatan saat itu. Namun saat kami istirahat di Pamanukan, Irwan dan Anovry “Koh Biji” mengatakan mereka mencapai 90-100 kpj. Sementara aplikasi My Track di ponsel saya hanya merekam kecepatan hingga 80an kpj. “Gak mungkin cuma segitu, gue aje nyentuh 100 kpj kok.” Ujar Gogon yang mengendarai Suprax125.

Setelah checkpoint #1 kami melanjutkan perjalanan menuju Cirebon. Di sini, beberapa kali kami mendapati “diusir” oleh sirene rombongan moge. Akhirnya saya dan teman-teman memilih mengalah, mengingat mesin kami hanya 125 cc J. Nah saat menuju Cirebon inilah, Gogon mulai mengalami dampak akibat berkendara di malam hari. Beberapa kali, dia melakukan manuver yang bikin saya dan Koh Biji geleng-geleng kepala. Entah itu terlalu dekat dengan truk di depannya, atau “nyempil” diantara mobil dan truk yang berkecepatan tinggi.

“Lo ngantuk?” tanya saya kepada Gogon saat kami beristirahat di Kanci (setelah Cirebon).

“Gak kok.” Jawab Gogon.

“Ah ngantuk lo mah! Keliatan dari cara lo bawa tuh motor.” Ujar koh biji menimpali.

Saya pun meminta Gogon untuk tidur sejenak, mengingat teman-teman yang lain hendak menunaikan sholat subuh. Tapi toh Gogon justru mengaku tidak bisa tidur.

Sekitar pukul 05.00, kami lanjutkan perjalanan menuju Pekalongan sebagai checkpoint terakhir sebelum memasuki Kajen. Di kota yang terkenal dengan batiknya ini, saya berniat mengistirahatkan tim agak lama untuk sarapan. Tetapi justru menjelang kota inilah, banyak kejadian konyol. Gogon misalnya, beberapa kilometer jelang Brebes, mengerem mendadak, lalu berhenti tanpa aba-aba. Jelas saya saya dan Ony kaget. Saya meminta Gogon untuk beristirahat sejenak. Dan akhirnya dia mengaku mengantuk. Ony pun mengejar Irwan untuk memberitahu bahwa saya dan Gogon bakal berhenti. Kami berdua mampir sejenak ke SPBU sebelum melanjutkan perjalanan. Anehnya, setelah matahari terbit dengan teriknya, Gogon justru ngacir melewati Irwan dan Ony yang tadinya menunggui kami. Saya pun memberikan sinyal kepada mereka berdua untuk bertemu di Pekalongan. Tanpa disangka, kami berdua sudah ditungu oleh rekan lainnya di area sekitar perbaikan jalan, di kota Brebes. Setelah memastikan semuanya berkumpul kembali, diputuskan untuk bergerak dalam satu rombongan. Tak lama dari situ, Koh Biji mengalami pecah ban dan harus ditambal. Saat itulah kami baru tahu, bahwa Ony kena tilang karena melewati lampu pengatur lalu lintas tidak pada waktunya. Sontak, menunggu dua lubang di ban Koh Biji ditambal, kami tertawa renyah mendengar penuturan Ony. Tipikal Bunciters, apapun kejadiannya, ambil hikmahnya dan ambil indahnya. 🙂

Blog Dieng_Pantura_2

Blog Dieng_3

Sabtu (15/8), sekitar pukul delapan pagi, kami tiba di Pekalongan, dan belok ke arah Kajen. Namun sebelum melanjutkan perjalanan, istirahat sejenak untuk sarapan. Sebuah warung makan sederhana, dengan ibu tua yang ramah senyum melayani kami, para bunciters yang lapar dan dahaga. Saat itulah. Bobski, pengendara Megapro memutuskan untuk mengecek piringan cakram roda depannya ke bengkel Honda terdekat. Sekitar 15 menit beristirahat, Ony pun menyerah pada rasa kantuk. Melihat hal ini, Windu menelpon Bobski untuk menanyakan perihal pengecekan di bengkel. Tak lama kemudian, Bobski muncul, namun sedikit “ngomel” kepada Windu Papoy.

Blog Dieng_2

“Ente ganggu aja ah. Ane kan lagi ngobrol sama mbak CS-nya.” Papoy hanya tertawa saja mendengar “keluhan” rekan perjalanannya itu.

Perjalanan dilanjutkan dengan Andy Joe sebagai Road Captain. Melewati wilayah bernama Wiradesa, dan kemudian kota Kajen yang cenderung lengang dan rindang. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk tiba di kawasan hutan Linggo Asri yang termasuk wilayah administratif Kabupaten Pekalongan. Hutan wisata yang berada di ketinggian sekitar 500an mdpl (meter di atas permukaan laut) ini menyajikan jalur sempit (hanya pas untuk dua mobil berpapasan) dengan kontur tipikal pegununan; tanjakan dan turunan curam. Belum lagi tikungan tajam yang kudu diwaspadai dengan efek “cilukba”-nya. 60% jalur Linggo Asri aspal mulus, sisanya hanya aspal dengan tambalan yang tidak merata. Dari sisi vegetasi, Linggo Asri mungkin bisa masuk klasifikasi hutan Sub-Montana dimana hutannya masih padat, dan pohon masih tumbuh tinggi. Hutan Sub Montana biasanya berada di ketinggian di bawah 1000 mdpl.

Blog Dieng_LinggoAsri_1Lepas dari Linggo Asri, tim memasuki daerah pedesaan. Namun masih tetap dengan pemandangan khas, kiri dan kanan terdapat jurang serta hutan lebat. Semua ini tetap dirasakan hingga mencapai daerah Kalibening, yang masuk daerah administrasi Banjarnegara.

Blog Dieng_LinggoAsri_2

Blog Dieng_Batur2Di daerah yang cuacanya mulai terasa sejuk ini, tim beristirahat sejenak. Tepat pukul 12.00 siang, tim melanjutkan perjalanan menuju Dieng, dimana kami harus melewati daerah Batur terlebih dahulu. Nah dari Kalibening hingga Batur, banyak diantara kami yang kecele. Melihat pemandangan yang memaparkan gunung dan bukit, kami mengira sudah dekat dengan dataran tinggi Dieng. Ternyata belum sama sekali. Windu Papoy menelepon mas Suryan, pemilik penginapan. Ternyata kami masih berjarak sekitar 1 jam dari penginapan miliknya. Apa daya, keinginan memotret tidak bisa semuanya bisa dituruti, karena mengejar waktu untuk tiba di penginapan.

Blog Dieng_Batur

Blog_Dieng_Welcome2Blog_Dieng_WelcomeLepas dari Batur, kami mulai kembali menikmati jalur mulus tanjakan, turunan disertai dengan pemandangan perkebunan dan hutan di kiri dan kanan jalan. Namun harus pintar membaca situasi. Pasalnya, banyak minibus di jalur yang sama, dan tentu saja minibus ini bakal berjalan pelan saat melahap tanjakan. Apes bagi kami, bebekers jika berada di belakang minibus ini, mau tidak mau, kami harus “Menyatu” alias kembali ke gigi 1 alias ngeden. :mrgreen: Kembali, tim harus berjibaku dengan tanjakan dan turunan, menyalip minibus dan mobil yang tak kuat menanjak. Saking asyiknya, kebanyakan dari kami lupa mengecek kondisi bahan bakar.

Menjelang Dieng, ada kejadian menarik. Koh Biji khawatir dengan kondisi bahan bakarnya yang sudah menipis. Tidak yakin dengan petunjuk Andy Joe tentang SPBU terdekat, ia memutuskan untuk mengisi ulang bensin di Pertamini alias pom bensin milik penduduk. Yang bikin jantung ini deg-degan adalah sang pemilik pertamini dengan asyiknya, masih mengisap rokok di bibirnya, menuangkan premium dari botol ke tangki bensin Koh Biji. Saya hanya bisa berdoa, tidak terjadi “bom bunuh diri” dalam perjalanan kali ini. Dan lucunya, tidak lama setelah kami mengisi bensin, sebuah SPBU “alakadarnya” berada di sisi kiri. Jadilah, saya dan beberapa teman mengisi ulang premium. Akhirnya, setelah 14 jam megangin stang (baca: berkendara), kami tiba di kawasan Dieng.

Kawah Sikidang
Kawah Sikidang adalah salah satu dari delapan kawah aktif yang terdapat di kawasan Dieng. Tidak semuanya bisa dikunjungi, karena beberapa diantaranya seperti kawah Sikendang, Sinila dan Timbang berpotensi gas beracun. Dataran tinggi Dieng sendiri merupakan kawasan yang sejenis dengan Yosemite National Park di Amerika atau dataran tinggi Ijen di Jawa timur. Semua tiga kawasan itu mempunyai aktivitas vulkanik aktif di bawah permukaannya. Jadi, bisa dibilang kita sedang berada di atas gunung raksasa yang aktif. J

Blog Dieng_Kawah SikidangOh ya, nama Sikidang sendiri berasal dari Kidang (bahasa jawa) yang artinya Kijang. Karena tempat keluarnya gas belerang selalu berpindah-pindah, seperti kijang, maka penduduk sekitar menyebutnya demikian. Menurut aplikasi GPS di ponsel saya, kawah ini terletak di ketinggian 2080 mdpl, jauh lebih tinggi ketimbang kawah Ratu (1300 mdpl) di Gunung Salak, Jawa Barat. Jadi sudah bisa dibayangkan betapa dinginnya udara di sini. Sinar matahari terik, tidak bisa menghilangkan udara sejuk yang sudah menyambut tubuh yang lelah berkendara ini.

Blog Dieng_Kawah Sikidang_2Di luar kawah, banyak penduduk yang menjual masker. Saya dan beberapa teman yang menggunakan bandana serba guna saat berkendara memutuskan untuk tidak membeli itu. Namun ada juga yang membeli dengan pertimbangan membantu masyarakat sekitar.

Kawah Sikidang memberikan pemandangan latar belakang yang mumpuni untuk berfoto. Sayangnya saat kami tiba, matahari sudah berada tepat di arah pemandangan tersebut. Akibatnya, efek backlight menyebabkan subyek foto menjadi gelap/siluet. Jadi lebih baik ke sini sebelum jam 12 siang.

“Ya elah itu orang. Sudah dibilang jangan ngelewatin pagar, masih aja foto dekat bibir kawah.” Ujar Koh Biji prihatin dengan beberapa pengunjung yang berfoto melewati pagar pinggir bibir kawah yang ditempatkan untuk keselamatan pengunjung. Memang, sejauh pemandangan saya, tidak tampak petugas untuk mengawasi atau mengingatkan pengunjung untuk tidak terlalu dekat dengan mulut kawah yang masih aktif. Yang ramai justru penjual bahan batu akik dan bunga Edelweiss.

“Dat, itu bunga Edelweiss emang boleh dijual?” tanya Irwan, seusai membeli bahan batu akik di penjual tersebut.

“Soal menjual sih gak jelas yah. Yang pasti di TNGP (Taman Nasional Gede Pangrango) kita gak boleh ngambil tuh bunga.” Jawab saya.

“Kalo ketahuan?” tanya Irwan lagi.

“Apes deh lo. Disuruh balikin lagi tuh bunga ke puncak atau lembah Suryakencana.”

Irwan hanya menggelengkan kepala, mendengar jawaban saya. Mungkin Irwan bakal lebih sedih lagi kalau mengetahui bahwa, kabarnya, di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, bunga ini sudah dinyatakan punah. TNGP adalah konservasi bunga abadi ini di Indonesia. Seusai obrolan itu, kami keluar dari kawah Sikidang.

bersambung ke bagian kedua

 

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑