Belajar Sejarah “Doeit” di Museum Bank Indonesia

BI_Blog

Catatan: Kunjungan ini terjadi setahun lalu, mudah-mudahan tetap informatif.

Museum. Mendengar kata tersebut, pikiran langsung menangkap kesan kuno, sejarah dan patung/kerangka membosankan yang bercerita tentang masa lalu. Entah itu zaman pra sejarah, atau sebelum kemerdekaan. Belum lagi bayangan akan gedung kusam dan tak terawat. bukan tempat yang ideal untuk menghabiskan waktu di akhir pekan.

Namun sepertinya ada satu museum yang layak dikunjungi. Bukan karena museum ini menyandang nama besar institusi sentral perbankan nasional, tetapi karena sesuai namanya, museum ini memberikan apa yang dibutuhkan oleh para pecinta sejarah yaitu museum yang modern, informatif dan bersahabat.

Museum Bank Indonesia namanya. Terletak di area kota tua, Jakarta Barat. Tepat di depan stasiun Beos. Arsitektur gedung museum BI ini mengingatkan kita akan masih gedung-geung khas peninggalan kolonial Belanda seperti Istana Negara, Istana Bogor dan Istana Cipanas. Bangunan menjulang tinggi, lengkap dengan pilar-pilar menjulang tinggi. Gedung yang sudah berdiri sejak 1928 ini, awalnya digunakan untuk Rumah Sakit, setelah itu De Javasche Bank (DJB) yang juga merupakan cikal bakal Bank Indonesia, mengambil alih. Namun seiring perkembangan politik dan kebutuhan operasional, gedung tersebut ditinggalkan dan kemudian dialihfungsikan menjadi museum.

Begitu memasuki gedung, terasa betul atmosfer “jadoel”. Mata kita dimanjakan oleh serentetan area yang dahulunya dipakai sebagai counter atau teller untuk menyetor dan mengambil uang. Uniknya, counter ini menggunakan semacam jeruji besi.

Bilik tempat bertransaksi tempoe doeloe.
Bilik tempat bertransaksi tempoe doeloe.

Nah yang membuat pengunjung bakal merasa informatif adalah tersedianya pemandu atau guide khusus musium ini. Setiap rombongan tidak boleh masuk ke musem ini sendirian. Semuanya harus “dikawal” oleh staf pemandu tersebut. Pemandu rombongan kami bernama Mbak Kandi.

Ruang Pameran Uang
Ruang Pameran Uang

Rombongan kami pun mulai dibawa ke ruangan pertama. Di ruangan ini, diperlihatkan segala macam bentuk “uang” sebelum Republik ini berdiri. Bukan hanya zaman pra kemerdekaan, tetapi jauh sebelum itu. Contohnya, ada beberapa kerajaan yang ternyata sudah mempunyai semacam alat penukar sendiri. Misalnya, kerajaan Goa di Makassar, ternyata menggunakan semacam kain untuk menentukan sebuah nilai tukar. Kain tersebut hanya boleh ditenun oleh sang Ratu. Atau ada juga kertas yang dijadikan alat tukar, namun lebarnya harus sesuai dengan ukuran tangan Raja saat itu. Nilai nominalnya pun bisa dikurangi dengan memotong kain atau kertas tersebut. Nah, siapapun yang mencoba membuat kain/kertas tersebut, selain raja/ratu akan dihukum mati.

Kain yang dulunya dijadikan alat tukar alias uang.
Kain yang dulunya dijadikan alat tukar alias uang.

Selain mata uang kerajaan, juga terdapat mata uang era awal kemerdekaan. Banyak sekali nominal mata uang Rupiah yang belum sempat saya nikmati selama kecil. Contohny, ada loh pecahan lima, sepuluh, dua puluh hingga dua puluh lima rupiah dengan mata uang kertas. Gambarnya pun tidak jauh dari wajah para bapak bangsa dan pahlawan nasional lainnya.

Kaca pembesar khusus untuk melihat koleksi uang.
Kaca pembesar khusus untuk melihat koleksi uang.

Contoh mata uang atau disebut specimen ini ditaruh meja khusus. Memang kita tidak bisa menyentuhnya. Untuk melihat detailnya, di meja tersebut ada semacam kaca pembesar agar kita bisa melihat detail uang-uang tersebut. Saat ditanya kenapa tidak boleh disentuh, mbak Kandi menjawab, “Kondisi kertas yang sudah puluhan tahun cenderung rentan terhadap perubahan suhu dan kelembaban tertentu. Makanya jika kita menyentuhnya, dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan karena suhu tubuh dan kelembapan tangan kita.” Selain itu mbak Kandi juga menambahkan alasan kenapa di ruangan ini tidak boleh memotret menggunakan flash/blits karena dikhawatirkan cahaya tersebut bakal memicu percikan api.

Pecahan Nominal 5000 era 90an. :D
Pecahan Nominal 5000 era 90an. 😀
Koleksi uang kertas
Koleksi uang kertas

Ruangan ini tidak hanya berisi koleksi uang Republik Indonesia atau Rupiah. Melainkan, ada koleksi mata uang asing dari seluruh dunia. Penempatannya pun menarik karena diletakkan dalam lemari-lemari tembus pandang yang bisa digeser, sehingga memudahkan pengunjung menikmati benda bersejarah tersebut. Oh ya, ruangan ini mempunyai pintu brankas seberat 2 ton. Dan mbak Kandi mengatakan pintu itu masih berfungsi. Karena merasa tidak percaya, beberapa teman pun berusaha menggeser, yah cuma bergeser dikit sih. J

Berfoto di depan Pintu berankas yang beratnya nyaris 2 ton.
Berfoto di depan Pintu berankas yang beratnya nyaris 2 ton.

Oh ya, ada yang tahu darimana asal kata “duit”? Perihal ini, menurut sang pemandu, ada 2 versi. Namun yang sering diceritakan adalah istilah ini berasal dari seorang Meneer Belanda bernama Sir Doit yang royal dan suka mentraktir/membelikan orang lain sesuatu. Sejak itulah istilah “duit” digunakan hingga saat ini.

Banyak fakta menarik terungkap juga saat sesi tanya jawab. Contohnya, ternyata di era orde lama, pernah ada kebijakan memotong uang kertas untuk mengurangi setengah dari nilainominal aslinya. Lalu ada juga “uang panjang” dimana merupakan satu lembar berisi beberapa pecahan dengan nilai nominal yang sama. Jika tidak dipotong, maka nilainya lebih besar, namun jika dipotong makan nilai nominalnya akan sama seperti uang normal.

Museum BI09
Uang kertas yang bikin saya nostalgia. 😀

Saat di ruangan ini, sebagian asyik menikmati penjelasan pemandu yang informatif. Sisanya, termasuk saya justru asyik bernostalgia. Bagaimana tidak? Melihat uang kertas dan logam yang dulu pernah kita nikmati saat SD, SMP hingga SMA pastinya mengembalikan memori masa lalu. “Walah, dulu gue jajan bakwan pake duit jigoan nih!” ujar seorang kawan menunjuk keping logam bernilai Rp. 25,-. Seorang lagi berujar, “Wuih, ini duit favorit gue!” sambil menunjuk kepada uang kertas bernominal seribu rupiah dengan gambar pahlawan nasional Raja Sisingamangaraja X. Tak ayal, semuanya jadi ribut soal kenangan masa kecilnya. Senyum dan tawa mengisi ruang tersebut.

Multimedia
“Mas, numpang tanya, ini baris E nomor 23?” tanya saya berkelakar kepada seorang kawan. Kami berdua akhirnya menahan tawa sambil cekikikan. Tentu saja gigi kami yang tidak terlalu putih itu tidak terlihat di ruangan bioskop mini.

Yah, museum ini mempunyai biokskop mini tempat diputarnya film-film yang bakal menceritakan tentang sejarah BI, keuangan negara dan moneter. Sabar, jangan langsung berasumsi bahwa filmnya bakal berat. Ada dua jenis film. Untuk pasukan bodrex alias anak-anak sekolah SD-SMP, tersedia film kartun yang menjelaskan sejarah Bank Indonesia. Sementara untuk yang remaja hingga tua renta, tersedia dokumenter ringan dan mudah diikuti tentang hal yang sama. Ada beberapa judul film yang bisa dipilih. Sayangnya, film “Wallstreet, Money Never Sleep” garapan Oliver Stone dengan aktor Michael Douglas dan Shia Labeouf tidak ada di daftar putar. 😀

Selanjutnya, kami dibawa ke ruangan yang lebih modern dengan tampilan-tampilan menarik seputar sejarah Bank Indonesia serta keuangan negara republik Indonesia. Tiap-tiap ruangan mempunyai ornamen multimedia bahkan instalasi seni yang menggambarkan sejarah keuangan negeri ini. Hampir semuanya menyertakan semacam audio background yang membuat suasana di tiap-tiap ruang menjadi lebih hidup. Tak lupa beberapa diorama tentang sejarah keuangan, perbankan hingga politik juga terpasang. Memberikan kita ilustrasi lebih baik tentang perjalanan sistem moneter Republik Indonesia tercinta.

Museum BI07Sebenarnya ada ruangan yang cukup canggih, dengan beberapa layar plasma berukuran sekitar 42 inci, diletakkan secara vertikal. Menurut sang pemandu, awalnya layar-layar ini akan menampilkan cuplikan gejolak krisis politik yang merambat ke krisis moneter di tahun 1998. Namun sayangnya hanya tersedia beberapa buah saja. Alasannya, “Beberapa layar monitor rusak karena disandari oleh pengunjung. Padahal ini keperluannya untuk tampilan, bukan seperti dinding yang bisa disandari”, ujar mbak Kandi.

Nah, kunjungan berakhir di sebuah bagian, yang pastinya tidak akan dilupakan oleh setiap pengunjung. Dan karenanya menjadi tempat favorit untuk mendokumentasikan kunjungan mereka. Bagi para abg atau pecinta narsis, ruangan ini wajib jadi target operasi. Yah, ruangan terakhir yang dikunjungi adalah ruang penyimpanan emas batangan. Ah yang benar? Yups. Di ruangan yang tidak terlalu lebar ini, terdapat lebih dari seratus batang emas yang masing-masing mempunyai berat 13 kilogram. Ringan? Saya rasa tidak. Kenapa? Karena saya mencoba “mencuri” satu batangnya, dan rasanya berat sekali. Dengan pencahayaan yang baik, dan emas menumpuk, tangan ini rasanya gatal untuk mendokumentasikan. Tak ayal, tanpa komando, saya dan rekan-rekan mulai berpose saat sang pemandu bersedia untuk memotret keluguan kami menikmati ratusan kilogram emas batangan. Ah andai saja ada 1 batang yang saya bisa pulang, tentu saja saya tidak perlu iri terhadap kekayaan si Gayus sang kourptor. “Penjarahan” ruang penyimpanan emas menjadi akhir dari perjalanan kami.

Museum BI13Museum BI bisa dibilang menjadi pintu untuk belajar lebih banyak lagi tentang sejarah bangsa, terutama di bidang keuangan. Siapa yang menyangka bahwa zaman dahulu duit ditenun, atau dibuat di atas kertas? Tak ada pula yang menyangka bahwa bangsa kita, sebelum era kemerdekaan sudah berani membuat alat bayar dari berbagai macam ukuran, bahan dan nilai. Dengan display yang tidak berjarak dengan pengunjung, ditambah alat bantu multimedia yang menyenangkan, pengunjung seakan dimanjakan oleh kecanggihan teknologi untuk mengakses sejarah Bank Indonesia sebagai bank sentral. Tak lupa, adanya para pemandu yang sabar, dan telaten memberikan penjelasan kepada para pengunjung, membuat kunjungan ke museum BI menjadi lebih informatif dan nyata sebagai tempat menambah wawasan dan pengetahuan.

Ruang Penyimpanan Emas Batangan. Nah ini dia!
Ruang Penyimpanan Emas Batangan. Nah ini dia!

Mengunjungi museum Bank Indonesia seakan kembali ke masa lampau. Masa dimana “uang” dan “duit” belum menjadi legal dan jelas bentuknya. Dan merasakan juga bagaimana Republik ini memerjuangkan mata uangnya sendiri hingga menjadikan “Rupiah” sebagai nama mata uang. Tak lupa, dari ruangan ke ruangan, dibantu dengan para pemandu, kita belajar bagaimana sejarah sistem keuangan kita terbentuk. Semuanya, tanpa perlu mengeryitkan dahi atau paham istilah ekonomi. Ah andai saja Meneer Doit masih hidup. J

PTS:

  1. Museum BI tidak memungut biaya berapapun kepada para pengunjungnya.
  2. Setiap rombongan pengunjung, akan disediakan guide. Untuk konfirmasi, bisa mengecek website mereka http://www.bi.go.id/en/tentang-bi/museum/Default.aspx dan tidak ada biaya apapun untuk guide/pemandu.
  3. Rombongan tidak perlu formal atas nama institusi atau organisasi. Cukup mengorganisir kelompok sendiri, dan berikan keterangan yang jelas tentang asal-usul rombongan.
  4. Jika sudah konfirmasi, makan begitu tiba di Museum BI, kita akan langsung disambut oleh Guide.
  5. Tidak diperbolehkan membawa makanan/minuman selama kunjungan ke museum. Disarankan makan dan minum yang cukup sebelum mengelilingi isi museum.
  6. Untuk parkiran, baik roda empat atau roda dua, tersedia cukup luas dan gratis.

Bagi pengguna transjakarta cukup menumpang bus transjakarta dengan tujuan ke Kota.

3 respons untuk ‘Belajar Sejarah “Doeit” di Museum Bank Indonesia

Add yours

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑